Inflasi, Debitur Cidera Janji, dan Ledakan Kredit Macet di Kota Medan

Senin, 14 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Advokat & praktisi hukum Perbankan, Gumilar Aditya Nugroho, S.H. Foto: Dok.Pribadi

Advokat & praktisi hukum Perbankan, Gumilar Aditya Nugroho, S.H. Foto: Dok.Pribadi

Oleh: Gumilar Aditya Nugroho, S.H

Inflasi bukan hanya angka dalam laporan BPS, itu adalah kenyataan yang mengganggu stabilitas bisnis dan daya tahan finansial pengusaha industri. Dalam beberapa bulan terakhir, kami telah menerima banyak konsultasi hukum dari para pelaku usaha di Kota Medan yang menghadapi masalah yang sudah lama ada, tetapi kini semakin besar, ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban bank. Ini disebut dalam bahasa hukum sebagai cidera janji atau “wanprestasi”. Dalam bahasa ekonomi, ini adalah representasi dari kredit macet atau non-performing loan (NPL).

Fenomena ini menunjukkan bagaimana inflasi dapat menimbulkan tekanan ekonomi yang sistemik dan berdampak langsung pada hubungan kredit antara bank dan debitur. Sebagai pusat perdagangan utama di Sumatera Utara, Medan saat ini berada di persimpangan antara pemulihan dan stagnasi. Peningkatan harga bahan baku, biaya distribusi, dan biaya operasional lainnya membuat banyak pengusaha, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM) dan sektor perdagangan, tertekan sementara pendapatan mereka stagnan atau bahkan menurun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Baca Juga  Dasco dan Rocky Halal bi Halal Sayur Lodeh

Inflasi dan Tekanan Terhadap Dunia Usaha

Menurut data BPS, tingkat inflasi tahun ke tahun (year-on-year) untuk Kota Medan pada triwulan pertama 2025 berada di atas 3,7%. Kenaikan harga terjadi secara merata pada sektor pangan, transportasi, hingga energi. Di atas kertas, angka ini masih dalam batas moderat, namun di lapangan, dampaknya sangat terasa.

Sebagai contoh, seorang klien kami yang mengelola bisnis distribusi sembako mengatakan bahwa margin keuntungan perusahaannya menyusut lebih dari 50% dalam waktu kurang dari tiga bulan.

Pada saat yang sama, ia memiliki kewajiban angsuran kredit modal kerja di sebuah bank BUMN, dan karena kelangkaan dana, ia gagal memenuhi kewajiban cicilan, yang mengakibatkan surat peringatan dari bank.

Ini bukan satu atau dua kasus. Dalam satu bulan terakhir, kami telah menerima laporan dari lebih dari lima belas pengusaha yang menghubungi kantor kami untuk menyampaikan keluhan tentang kondisi serupa yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh tekanan inflasi, yang secara otomatis mengurangi kemampuan debitur untuk membayar kredit berjalan mereka.

Ketika Cidera Janji Menjadi Tren

Ketika salah satu pihak dalam perjanjian (dalam hal ini debitur) gagal memenuhi kewajiban yang telah disepakati, disebut wanprestasi atau cidera janji dalam hukum perdata. Dalam kasus di mana lalai disertai dengan niat atau kelalaian, debitur yang lalai dapat dituntut ganti rugi menurut Pasal 1243 KUHPerdata.

Namun, kelalaian ini bukan hanya kesalahan debitur, dalam konteks inflasi dan tekanan ekonomi makro itu adalah konsekuensi dari force majeure ekonomi (keadaan memaksa) yang tidak dapat ditangani oleh pihak-pihak.

Dalam hal ini, praktisi hukum dan lembaga keuangan seharusnya bersikap bijaksana. Mereka seharusnya membedakan antara debitur yang tidak mampu karena keadaan ekonomi mereka dan debitur yang tidak mampu secara sengaja.

Bank sepatutnya tidak langsung menempuh jalur litigasi atau eksekusi jaminan tanpa terlebih dahulu mengedepankan prinsip keadilan kontraktual. Prinsip itikad baik (good faith) sebagaimana termuat dalam Pasal 1338 KUHPerdata harus tetap menjadi pijakan utama dalam menyikapi kasus-kasus wanprestasi akibat inflasi.

NPL dan Risiko Sistemik Bagi Perbankan

Dari perspektif perbankan, peningkatan jumlah debitur yang gagal bayar berdampak pada pendapatan bunga dan rasio NPL, yang merupakan ukuran kesehatan bank. Menurut laporan triwulanan OJK, Kota Medan mengalami peningkatan NPL sebesar 0,7% di sektor perdagangan dan properti per Maret 2025. Ini belum termasuk kemungkinan gagal bayar dari kredit multiguna dan konsumtif yang masih dalam masa tenggang pembayaran setelah pandemi.

Follow WhatsApp Channel topikseru.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Reshuffle Menteri Keuangan dan Guncangan Pasar: Apa Artinya Bagi Pelaku Usaha? Reshuffle yang Mengejutkan
Kerja Sama Operasi (KSO): Instrumen Bisnis yang Perlu Dikawal
Desaku Simbolon Purba
Klausula Negative Pledge dalam Istilah Perbankan: Analisis Yuridis dan Implikasi Strategis Bagi Perbankan dan Dunia Usaha
Politik Hukum dan Rasa Keadilan: Membedah Putusan Kasus Tom Lembong dalam Perspektif UU Tindak Pidana Korupsi
Dasco dan Rocky Halal bi Halal Sayur Lodeh
Multikulturalisme sebagai Fondasi Kehidupan Berbangsa
Multikulturalisme: Antara Identitas Lokal dan Globalisasi
Disclaimer: Tulisan pada kolom Opini tidak mewakili pandangan Redaksi Topikseru.com

Berita Terkait

Minggu, 21 September 2025 - 07:01

Reshuffle Menteri Keuangan dan Guncangan Pasar: Apa Artinya Bagi Pelaku Usaha? Reshuffle yang Mengejutkan

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 20:44

Kerja Sama Operasi (KSO): Instrumen Bisnis yang Perlu Dikawal

Selasa, 12 Agustus 2025 - 21:12

Desaku Simbolon Purba

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:01

Klausula Negative Pledge dalam Istilah Perbankan: Analisis Yuridis dan Implikasi Strategis Bagi Perbankan dan Dunia Usaha

Kamis, 24 Juli 2025 - 18:30

Politik Hukum dan Rasa Keadilan: Membedah Putusan Kasus Tom Lembong dalam Perspektif UU Tindak Pidana Korupsi

Berita Terbaru