Scroll untuk baca artikel
Ekonomi dan Bisnis

Hantu Kredit Macet dan Jeratan Hukum: Saat Utang Bisnis Berujung Pidana

×

Hantu Kredit Macet dan Jeratan Hukum: Saat Utang Bisnis Berujung Pidana

Sebarkan artikel ini
kredit macet
Seorang pedagang kelontong tampak murung di depan toko sembako miliknya, mencerminkan dampak nyata dari hantu kredit macet yang menghantui pelaku usaha kecil di Indonesia. Banyak UMKM terjebak dalam lilitan utang karena penurunan daya beli dan tekanan ekonomi pasca pandemi.

Topikseru.comKredit macet telah berubah menjadi “hantu ekonomi” yang menakutkan dan menghantui perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2025.

Dalam situasi ini, bukan hanya debitur yang menderita, tetapi seluruh ekosistem keuangan — termasuk perbankan, regulator, pelaku usaha, hingga masyarakat — turut merasakan dampaknya.

Fenomena ini tidak lagi sekadar persoalan gagal bayar, melainkan telah menyentuh aspek keadilan hukum, kestabilan sektor keuangan, dan kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional.

Baca Juga  Bank yang Menerima Kredit Macet 2025: Ini 8 Pilihan Terbaik untuk Take Over Pinjaman Bermasalah

Kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar kini berada dalam tekanan serius akibat lonjakan Non-Performing Loan (NPL) yang menyerupai epidemi.

Bahkan istilah “hantu kredit macet” telah menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri dan analis ekonomi karena dampaknya yang luas, tak kasat mata, namun menghancurkan dari dalam.

Tekanan Ekonomi Membentuk Ekosistem Keuangan yang Rapuh

Tekanan inflasi, lemahnya daya beli masyarakat, serta menurunnya margin keuntungan pelaku usaha menciptakan ekosistem keuangan yang rapuh.

Situasi ini bukan hanya mengancam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memunculkan potensi over enforcement hukum terhadap pelaku usaha yang sebenarnya beritikad baik dalam menyelesaikan kewajibannya.

Kasus Hamidi Salidin: Ilustrasi Buram Jerat Hukum di Tengah Krisis

Salah satu contoh nyata adalah kasus Hamidi Salidin, seorang pengusaha lokal yang kini dijadikan tersangka oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena gagal memenuhi kewajiban kreditnya.

Baca Juga  Inflasi, Debitur Cidera Janji, dan Ledakan Kredit Macet di Kota Medan

Hamidi diketahui telah membayar sebagian utangnya sebesar Rp100 juta, menyerahkan dua agunan rumah senilai Rp300 juta untuk menutupi sisa utang sebesar Rp83,5 juta, dan bahkan mengajukan permohonan restorative justice (RJ).

Sayangnya, upaya damai ini ditolak secara sepihak oleh OJK. Hamidi tetap dijerat hukum pidana, meskipun tidak ditemukan indikasi penipuan, pemalsuan dokumen, atau unsur niat jahat (mens rea) dalam prosesnya. Kejadian ini menjadi simbol betapa mengerikannya jeratan hukum di tengah tekanan ekonomi yang tak terbendung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *