Topikseru.com – Krisis kebocoran data pribadi di Indonesia bukan sekadar ancaman teknis, tetapi telah menjelma menjadi isu strategis nasional yang berdampak luas terhadap keamanan informasi, perlindungan hak asasi digital warga negara, hingga keberlangsungan ekonomi digital.
Dalam beberapa tahun terakhir, serangkaian insiden kebocoran data—mulai dari sektor pemerintahan, perbankan, hingga layanan publik digital—telah membuktikan bahwa tata kelola data di Indonesia sangat rentan terhadap serangan siber dan manipulasi ilegal.
Krisis ini terjadi karena ketidaksiapan sistem dan sumber daya manusia dalam mengelola data dengan standar keamanan yang layak. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber dan rendahnya akuntabilitas lembaga pengelola data.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
seperti kita ketahui saat ini , Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat secara resmi mengumumkan kesepakatan perdagangan bersejarah, yang ditekankan oleh Gedung Putih sebagai langkah besar menuju kemitraan ekonomi digital yang lebih erat.
Salah satu poin paling menonjol dari perjanjian ini adalah penghapusan hambatan perdagangan digital, yang mencakup izin untuk memindahkan data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat.
Kesepakatan ini mencerminkan pengakuan Indonesia atas Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki tingkat perlindungan data yang dianggap memadai berdasarkan kerangka hukum Indonesia.
Namun, keputusan ini menjadi sorotan tajam, mengingat kondisi krisis kebocoran data pribadi di Indonesia yang terus memburuk.
Indonesia berada di tengah krisis keamanan siber yang mengkhawatirkan. Banyak kasus kebocoran data yang menimpa sektor publik dan swasta, mencerminkan lemahnya tata kelola data pribadi.
Peringkat Global Kebocoran Data Pribadi
Menurut laporan dari Surfshark seperti yang dilansir Sibermate, Indonesia menempati peringkat ke-13 dunia dalam jumlah insiden kebocoran data.
Sejak 2004 hingga April 2024, tercatat 156,8 juta data pengguna Indonesia telah bocor ke publik.
Kebocoran di Sektor Pemerintah dan Keuangan
Berdasarkan data dari BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), sepanjang tahun 2023 terjadi 103 dugaan insiden kebocoran data, 69% di antaranya menimpa sistem administrasi pemerintahan. Bahkan, Direktorat Jenderal Pajak juga dilaporkan mengalami insiden bocornya data NPWP jutaan warga, termasuk pejabat tinggi negara.
Insiden Pusat Data Nasional dan e-Visa
Pada Juni 2024, serangan ransomware Brain Cipher berhasil melumpuhkan Pusat Data Nasional di Surabaya dan menuntut tebusan US$8 juta. Selain itu, sistem e-visa di bandara Indonesia juga mengalami gangguan yang mengekspos data pelancong asing, termasuk warga Australia.
Akar Masalah: Lemahnya Tata Kelola Data di Indonesia
Krisis kebocoran data tidak terjadi tanpa sebab. Lemahnya sistem perlindungan data dan rendahnya kesadaran keamanan informasi menjadi biang utama kebocoran demi kebocoran yang terus terjadi.
1. Infrastruktur Keamanan yang Tidak Memadai
Sebagian besar organisasi belum mengadopsi standar internasional seperti ISO 27001. Teknologi perlindungan seperti enkripsi, firewall canggih, dan deteksi intrusi real-time belum menjadi norma.
2. Regulasi yang Lemah dan Implementasi yang Gagal
Meskipun UU Perlindungan Data Pribadi telah disahkan, penegakannya masih lemah. Banyak perusahaan belum mematuhi ketentuan tersebut karena minimnya pengawasan dan kurangnya sanksi tegas.
3. Rendahnya Kesadaran di Tingkat Organisasi
Pelatihan keamanan siber masih menjadi hal langka di banyak institusi. Padahal, kelalaian karyawan merupakan faktor signifikan dalam insiden phishing dan manipulasi sosial lainnya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya