TOPIKSERU.COM – Kasus ibu yang yang akhiri hidup bersama dua anaknya menyisakan surat pilu menjadi sorotan publik.
Bukan hanya karena perbuatannya yang tragis, tetapi juga karena sang ibu meninggalkan sebuah surat terakhir yang berisi curahan hati tentang kelakuan suami, rasa sakit yang ia pendam, dan keputusasaan yang membuatnya memilih jalan mengerikan.
Tragedi ini membuka mata banyak pihak bahwa di balik rumah tangga yang tampak biasa, bisa tersimpan luka batin mendalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lewat artikel ini, kami akan membahas secara menyeluruh mengenai isi surat sang ibu, faktor penyebab, sudut pandang psikologis, dampak rumah tangga, hingga pelajaran penting bagi masyarakat.
Isi Surat Sang Ibu: Jeritan Hati yang Tak Terdengar
Dalam bahasa Sunda, sang ibu menuliskan surat yang penuh kepedihan. Berikut penggalan isi surat aslinya:
“Mamah, bapa, ema, bapa, teteh, aa sadayana hampura abi, hampura abi ngakarkeun kieu. Abi tos cape lahir batin, abi tos teu kuat ngajalani hirup kieu, abi cape hirup ngagugulung hutang nu euweuh beresna, kalah beuki nambahan beuki dieu teh.
Abi cape dinyerihatekeun wae teh, puguh ning ku batur geus dikucilkeun, pada ngomongkeun, pada mikangewa bari jeung teu rumasa salah.
Boga salaki kalah hayoh we gede bohong jeung gede hutang, CAPEEEEEEEEEEEEE sugan abi jeung budak geus maot mah aya sadarna, mun henteu sadar ge keun bae nu penting teu nyangsarakeun ka budak abi.
Aa Alif, Dede Arlan, hampura mamahna. Jalana kudu kieu, bakat ku nyaah mamah teh, daripada ditinggalkeun ku mamah, karunya ka ema.
Mamah leuwih rido ka naraka daripada ninggal Aa + dede sangsara. da Aa + dede mah can gaduh dosa. Keun we mamah nu nanggung dosana ka naraka, teu rido hirup dibawa susah wae ku mamah teh.
Hampura mamah teu tiasa nyumponan sagala kabutuhan Aa + dede, hampura mamah teu tiasa ngabahagiakeun Aa + dede. Hampura aa teu jadi tari-nya. Insha Alloh Aa + dede ka surga.”
Jika diterjemahkan, surat tersebut berbunyi:
“Aku sudah tidak tahan lagi hidup begini. Suamiku tidak pernah menghargai aku, selalu menyakiti hatiku dengan kata-kata dan perbuatan. Aku merasa sendirian menghadapi semua ini. Aku lelah, aku sakit, aku tidak punya tempat untuk mengadu. Maafkan aku jika jalan yang kupilih salah, tapi aku tidak kuat lagi menahan semuanya. Aku hanya ingin tenang bersama anak-anakku. Aku tidak ingin mereka merasakan sakit seperti yang kurasakan. Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku.”
Surat ini membuat publik terhenyak karena setiap kalimatnya sarat dengan kesedihan, keputusasaan, dan rasa sakit yang mendalam.
Surat ini membuat publik terhenyak, karena setiap kalimat yang tertulis sarat dengan kesedihan, keputusasaan, dan rasa sakit yang mendalam. Ada beberapa poin penting yang bisa ditarik dari isi surat tersebut:
Analisis Psikologis Surat Sang Ibu
1. “Aku sudah tidak tahan lagi hidup begini.”
Kalimat pembuka ini mencerminkan kondisi keputusasaan akut. Dalam psikologi, frasa seperti ini sering disebut sebagai ideasi bunuh diri, yakni munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup karena merasa tidak ada lagi jalan keluar. Menurut Beck (1990) dalam Cognitive Therapy of Depression, rasa tidak tahan adalah tanda depresi berat di mana individu kehilangan kemampuan melihat solusi alternatif selain kematian.
2. “Suamiku tidak pernah menghargai aku, selalu menyakiti hatiku dengan kata-kata dan perbuatan.”
Kalimat ini menunjukkan adanya trauma emosional dan rendahnya harga diri (low self-worth) akibat perlakuan buruk dari pasangan. Bentuk kekerasan verbal maupun emosional dalam rumah tangga terbukti berdampak pada kesehatan mental, memicu depresi, kecemasan, hingga gangguan stres pascatrauma. WHO (2012) dalam laporannya Understanding and Addressing Violence Against Women menegaskan bahwa KDRT, baik fisik maupun non-fisik, memiliki dampak serius terhadap psikologis korban.
3. “Aku merasa sendirian menghadapi semua ini.”
Pernyataan ini adalah tanda jelas dari perasaan isolasi sosial. Sang ibu merasa tidak memiliki tempat bersandar atau dukungan emosional. Kondisi kesepian ekstrem seperti ini dalam psikologi dikenal dengan istilah loneliness despair, yang dapat memperparah depresi. Cacioppo & Patrick (2008) dalam bukunya Loneliness: Human Nature and the Need for Social Connection menjelaskan bahwa isolasi sosial meningkatkan risiko gangguan mental dan perilaku bunuh diri.
4. “Aku lelah, aku sakit, aku tidak punya tempat untuk mengadu.”
Frasa ini mengindikasikan kelelahan emosional dan fisik. Dalam banyak kasus depresi, penderita juga mengalami somatisasi, yaitu gejala sakit fisik yang sebenarnya berakar pada gangguan psikologis. American Psychiatric Association (2013) dalam DSM-5 menuliskan bahwa depresi sering ditandai dengan rasa lelah, sakit tanpa sebab medis jelas, dan kehilangan energi. Ketidakmampuan untuk mengadu memperburuk perasaan terisolasi.
5. “Maafkan aku jika jalan yang kupilih salah, tapi aku tidak kuat lagi menahan semuanya.”
Kalimat ini menggambarkan ambivalensi bunuh diri. Sang ibu sadar bahwa tindakannya salah, tetapi dorongan untuk mengakhiri penderitaan jauh lebih kuat. Joiner (2005) dalam Why People Die by Suicide menyebut fase ini sebagai kondisi di mana individu masih mempertimbangkan moralitas, namun kekuatan rasa sakit membuatnya nekat. Ambivalensi ini sering menjadi momen krusial sebelum seseorang benar-benar melakukan tindakan bunuh diri.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya