Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Empat Kali Terjatuh, Namun Tak Menyerah: Perjalanan Berbahaya Aswin Evakuasi Keluarganya Lewat Jalan Berlumpur

×

Empat Kali Terjatuh, Namun Tak Menyerah: Perjalanan Berbahaya Aswin Evakuasi Keluarganya Lewat Jalan Berlumpur

Sebarkan artikel ini
Banjir Sumut
Seorang warga duduk di atas tumpukan kayu besar yang terbawa arus saat melanda beberapa kawasan di Sumut. Material kayu dan lumpur memenuhi aliran sungai, sementara alat berat dikerahkan untuk membersihkan jalur yang tertutup akibat banjir dan longsor.

Topikseru.comBencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara sejak Selasa (25/12/2025) telah meninggalkan luka mendalam, bukan hanya dari sisi kerusakan, tetapi terutama dari sisi kemanusiaan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut mencatat 313 korban jiwa dan 163 orang masih hilang.

Bencana besar ini memukul 17 kabupaten/kota secara bersamaan, menjadikannya salah satu bencana paling mematikan dalam satu dekade terakhir.

Namun, di balik angka-angka yang menggetarkan itu, terdapat kisah manusia yang jauh lebih mengguncang—kisah tentang seorang ayah bernama Aswin (40) dari Pinangsori, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang berjuang di tengah kegelapan total, kelaparan, dan akses yang terputus demi menyelamatkan keluarganya.

Tapanuli Tengah Wilayah dengan Korban Terbanyak

Menurut Kepala BPBD Sumut, Tuahta Saragih, Tapanuli Tengah menjadi daerah dengan jumlah korban tertinggi, tercatat 88 orang meninggal dunia dan  112 orang masih hilang

Total penduduk terdampak di kabupaten ini mencapai 296.454 jiwa, dengan lebih dari 7.382 orang terpaksa mengungsi.

Di salah satu desa yang porak-poranda itulah Aswin seorang guru MTsN tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Rumah sederhana mereka menjadi saksi bisu bagaimana bencana tidak hanya merusak fisik wilayah, tetapi juga memutus listrik, jaringan komunikasi, dan akses hidup selama berhari-hari.

Tujuh Hari dalam Gelap: Ketika Waktu Terasa Tidak Bergerak

Saat banjir melanda, listrik padam total. Tidak ada suara mesin PLN, tidak ada sinyal, tidak ada dering telepon, dan tidak ada cahaya kecuali dari lilin yang hampir habis.

Dalam kegelapan yang menelan ratusan rumah, Aswin merasakan sesuatu yang belum pernah ia alami seumur hidupnya.

Ia menggambarkan suasana itu seperti hidup di ruang kosong tanpa pintu keluar.

Anak-anaknya ketakutan, istrinya mencoba menenangkan meski ia sendiri goyah.

Dalam sunyi yang panjang itu, Aswin hanya bisa berkata pada keluarga bahwa semuanya akan baik-baik saja, meski ia sendiri tidak tahu apakah ia mengatakan kebenaran.

“Rasanya seperti terputus dari dunia luar,” tulisnya dalam pesan WhatsAppnya kepada Topikseru.com, mengingat kembali malam-malam tanpa cahaya itu.

Baca Juga  Penjarahan Gudang Bulog Tapanuli Tengah Diduga Tewaskan 8 Warga, Bulog Sumut 2.400 Ton Beras Ludes

Tanpa listrik, tanpa jaringan, warga tidak mengetahui perkembangan bencana, tidak bisa meminta bantuan, dan tidak bisa menjangkau keluarga yang jauh.

Mereka hidup dalam isolasi penuh, seolah terjebak dalam dimensi yang terputus dari kehidupan di luar Pinangsori.

“Baru tadi (Kamis, 4/12/2025) mengungsi ke rumah mertua, setelah terjebak banjir,” ucapnya

Harga Melonjak Tak Masuk Akal: Ketika Kebutuhan Dasar Menjadi Kemewahan

Ketika banjir menghentikan distribusi, warga mendapati kenyataan pahit.

Bahan pokok melonjak hingga dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat dari harga normal.

Di sebuah daerah yang seluruh penduduknya sedang terjebak dalam ketidakpastian, kebutuhan dasar berubah menjadi barang mewah.

Beras dua liter mencapai harga yang menyesakkan. Telur, bensin, dan susu anak membubung di luar batas kewajaran.

Di antara daftar harga yang mengerikan itu, Aswin hanya memegang dua lembar uang lusuh senilai Rp35.000. Jumlah yang bahkan tidak cukup untuk membeli setengah dari kebutuhan keluarganya.

Namun bagi Aswin, beban terbesarnya bukan soal beras atau telur. Beban itu datang saat susu anak bungsunya habis.

Wajah Anak yang Memelas: Luka yang Paling Dalam

Anak-anak sering kali tidak memahami bencana, tapi mereka merasakan dampaknya sepenuhnya. Ketika susu anak bungsu Aswin habis, tangis kecil yang terdengar di ruang gelap itu seperti pisau yang menggores hati seorang ayah.

Aswin mencoba mencari opsi apa pun yang bisa ia lakukan. Ia bertanya soal harga susu di warung kecil yang masih buka. Harganya Rp90.000, dua kali lipat dari harga normal. Ia berdiri lama, menatap rak itu, terdiam dalam keputusasaan yang begitu sunyi.

“Saya cuma punya Rp35.000. Rasanya hancur sekali,” katanya dengan suara bergetar.

Di situ, seorang ayah kalah dalam pertarungan yang tidak pernah ia pilih. Kalah bukan karena ia menyerah, tetapi karena keadaan memaksanya tidak berdaya.