Topikseru.com – Penulis dan sineas Gina S. Noer mengungkapkan bahwa film Esok Tanpa Ibu mengolah tema duka dari sudut pandang yang jarang diangkat dalam sinema Indonesia, yakni anticipatory grief atau duka yang hadir sebelum kehilangan benar-benar terjadi.
Gina, yang menggarap skenario film tersebut bersama Diva Apresya dan Melarissa Sjarief, menyebut anticipatory grief sebagai bentuk “perfect grief”, karena perasaan kehilangan sudah dirasakan sejak seseorang menyadari bahwa perpisahan suatu saat tak terelakkan.
“Ini adalah duka yang jarang dibahas, yaitu perasaan berduka karena kita tahu sesuatu akan terjadi, misalnya orang terdekat sakit atau orang tua semakin menua,” kata Gina saat konferensi pers peluncuran poster dan cuplikan film Esok Tanpa Ibu (Mothernet) di kawasan Senayan, Jakarta, Senin.
Sci-Fi yang Memilih Optimisme
Berbeda dengan film fiksi ilmiah (science fiction) yang kerap menggambarkan masa depan secara kelam, Gina menjelaskan Esok Tanpa Ibu justru menawarkan pandangan optimistis tentang masa depan.
Optimisme tersebut tercermin lewat karakter Laras dan orang-orang yang memiliki semangat serupa, yang tetap berharap dan berjuang demi generasi mendatang meski harus berhadapan dengan alam yang rusak.
“Mereka tetap mencoba menumbuhkan bunga-bunga, meskipun dunia sedang berada dalam kondisi yang tidak ideal,” ujar Gina.
Menurut Gina, pendekatan tersebut terinspirasi dari sosok Rendy Aditya, seorang pengolah limbah di Parongpong, Bandung.
Rendy mempertanyakan mengapa cerita fiksi ilmiah kerap terasa suram, seolah tak memberi ruang bagi manusia yang mencintai bumi dan berusaha menggunakan teknologi demi masa depan lingkungan yang lebih baik.











