TOPIKSERU.COM, MEDAN – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menghentikan proses tindak pidana sebanyak 76 perkara. Penghentian dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif atau Restoratif Justice (RJ).
Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut Yos A Tarigan menerangkan, seluruh perkara tersebut berasal dari 28 Kejari dan 9 Cabang Kejaksaan Negeri yang ada di wilayah hukum Kejati Sumut.
Dari 76 perkara ini, penyumbang perkara terbesar berasal dari Kejari Asahan sebanyak 10 perkara, disusul Kejari Langkat sebanyak 9 perkara dan Kejari Medan 8 perkara.
“Untuk Kejari dan Cabang Kejaksaan Negeri lainnya bervariasi dari 1 perkara sampai 7 perkara,” terang Yos, Senin (9/9).
Dia mencontohkan, penghentian perkara misalnya di Labuhanbatu Selatan. Seorang anak bernama Suhada Siregar Alias Suhada melakukan pengancaman kepada ibunya yang bernama Suka Ria (70).
Ancaman itu dilakukan Suhada karena merasa kesal dengan ibunya dan mengancam menggunakan parang. Merasa tidak senang kepada sang anak, Suka Ria melaporkan anaknya sendiri ke Polres Labuhanbatu Selatan dan diproses hingga ke Kejaksaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terhadap si anak, dikenakan Pasal 44 ayat (1) UU RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana.
Jaksa penuntut umum mencoba melakukan mediasi dan mempertemukan tersangka dengan ibu kandungnya sendiri, serta disaksikan oleh pihak keluarga serta tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan,” ungkap Yos.
Begini Proses Penghentian Perkara
Yos menjelaskan, proses penghentian penuntutan sebuah perkara dengan penerapan Perja No. 15 Tahun 2020 tidak serta merta begitu saja tanpa melihat esensinya. Prosesnya pun melalui beberapa tahapan dan dilakukan secara berjenjang dari JPU ke Kajari, lanjut ke Aspidum.
“Kemudian Kajati melakukan ekspose di hadapan JAM Pidum hingga akhirnya diputuskan apakah dihentikan atau diteruskan ke persidangan,” jelas Yos.
Disetujuinya sebuah perkara untuk dihentikan secara humanis, lanjutnya, itu artinya antara tersangka dan korban sudah bersepakat berdamai, dan tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang sama.
“Syarat utama penghentian penuntutan sebuah perkara adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman nya tidak lebih dari lima tahun, kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta,” sebutnya.
Menurut mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini, dihentikannya perkara dengan pendekatan keadilan restoratif atau secara humanis, itu artinya antara tersangka dan korban dikembalikan keadaannya ke semula.
“Dan terciptanya harmoni di tengah-tengah masyarakat,” tutup Yos.