Topikseru.com – Pada perdagangan Kamis 12 Juni 2025 Pukul 09.43 WIB, Harga bitcoin (BTC) terpantau di level US$ 108,520 atau turun 1,04% dalam kurun 24 jam terakhir.
Harga Bitcoin (BTC) kembali menguat dan menembus level US$ 110.000 pada 10 Juni 2025, setelah sempat terkoreksi ke bawah US$ 101.000 pada 5 Juni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kenaikan ini mencerminkan penguatan hampir 9% dalam sepekan terakhir dan menempatkan BTC hanya sekitar 2% dari rekor tertingginya yang mencapai lebih dari US$ 111.000 pada Mei lalu.
Penguatan harga ini didorong sentimen positif dari pasar global, terutama membaiknya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China.
Meredanya ketegangan perdagangan mendorong optimisme investor terhadap potensi kesepakatan baru, yang turut berdampak pada peningkatan permintaan aset berisiko, termasuk mata uang kripto.
Di pasar domestik, lonjakan harga BTC turut disertai peningkatan volume transaksi di platform perdagangan kripto, Indodax.
Pada 10 Juni, total volume transaksi di Indodax tercatat sebesar Rp 707,8 miliar, mencerminkan meningkatnya aktivitas dan minat pelaku pasar dalam negeri.
Vice President Marketing Indodax, Antony Kusuma, menyatakan bahwa lonjakan harga ini merupakan momen penting dalam perjalanan Bitcoin secara global.
Menurutnya, Bitcoin kini telah menjadi bagian dari diskusi utama di antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi keuangan besar.
“Bitcoin tidak lagi berada di pinggiran sistem keuangan global. Kenaikan harga ke US$ 110.000 menunjukkan bahwa pasar memandangnya bukan sekadar aset alternatif, melainkan komponen strategis dalam ekonomi digital yang baru,” ujar Antony seperti dikutip dari website resmi Indodax, Kamis (12/6).
Ia menambahkan bahwa di Indonesia, antusiasme investor ritel juga meningkat seiring pergerakan positif harga BTC. Hal ini menunjukkan bahwa pasar lokal turut berkontribusi terhadap dinamika kripto global.
Baca Juga: Harga Bitcoin Kembali Tembus US$ 100.000, Ini Saran dari Robert Kiyosaki
Selain itu, perhatian pelaku pasar juga tertuju pada indikator makroekonomi Amerika Serikat, seperti data inflasi (CPI) yang akan dirilis pada 11 Juni dan proyeksi angka pengangguran pada 12 Juni. Kedua data ini diperkirakan akan memengaruhi arah kebijakan suku bunga The Fed.
Antony menjelaskan bahwa kombinasi tekanan inflasi, ketidakpastian suku bunga, dan kondisi geopolitik mendorong investor mencari aset yang tidak terpengaruh langsung oleh kebijakan bank sentral maupun pemerintah.
Bitcoin menjadi relevan karena bebas dari intervensi moneter konvensional.
“Saat aset lain dipengaruhi stimulus atau pengetatan, Bitcoin tetap beroperasi berdasarkan prinsip transparansi, suplai terbatas, dan konsensus global,” jelasnya.
Ia juga menyoroti meningkatnya adopsi institusional terhadap Bitcoin.
Banyak lembaga keuangan besar kini tidak lagi melihat Bitcoin sebagai instrumen spekulatif, melainkan sebagai bagian dari strategi manajemen risiko dan diversifikasi portofolio jangka panjang.
“Jika dulu institusi masih meraba posisi Bitcoin, kini mereka mulai memasukkannya ke dalam strategi aset digital. Bahkan beberapa sovereign wealth fund telah mengevaluasi eksposurnya terhadap kripto. Ini menandai peralihan dari skeptisisme ke penerimaan,” tambahnya.
Antony menilai bahwa momentum saat ini dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang seperti Indonesia untuk lebih adaptif terhadap teknologi blockchain dan aset digital.
“Indonesia memiliki potensi besar dari sisi demografi, penetrasi digital, dan komunitas kripto yang aktif. Namun tantangannya adalah bagaimana menjadi pelaku yang berkontribusi, bukan sekadar pasar konsumen,” ujarnya.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya