Nafan juga memahami bahwa emiten yang punya spesialisasi produksi logam mulia berpotensi melakukan impor bahan baku jika permintaan dari pelanggan membludak. Hal ini masih dianggap wajar sekalipun impor tersebut bisa menyulut kenaikan biaya pengeluaran.
“Selama emiten bisa memaksimalkan penjualannya, impor tersebut tidak jadi masalah,” tutur dia, Selasa (17/6).
Ekky turut berpandangan, penguatan harga emas bakal memacu emiten untuk meningkatkan kemampuan produksinya. Beberapa emiten emas juga sedang berada dalam fase peningkatan kapasitas dan volume produksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, realisasi percepatan produksi ini tetap bergantung pada kesiapan infrastruktur tambang, kapasitas smelter, serta rantai distribusi. Alhasil, meski harga emas naik tajam, kinerja yang didapat emiten tidak serta-merta ikut melesat jika tanpa dukungan dari sisi operasional.
Kedua analis menyatakan, kenaikan harga emas biar bagaimanapun tidak akan terus-menerus terjadi. Apabila terjadi de-eskalasi konflik geopolitik, inflasi mereda, dan The Fed kembali membuka ruang penurunan suku bunga acuan, maka aksi profit taking kemungkinan besar akan terjadi pada komoditas emas.
Jika itu terjadi, harga emas akan terkoreksi yang pada akhirnya secara langsung saham-saham emiten emas juga ikut mengalami pelemahan. Maklum saja, emiten berbasis komoditas pada dasarnya sangat sensitif terhadap siklus harga yang terjadi di pasar.
“Reaksi pasar terhadap penurunan bisa lebih cepat dan signifikan dibandingkan komoditasnya itu sendiri,” imbuh Ekky.
Dia menyarankan investor untuk melirik beberapa saham emiten emas berdasarkan tren teknikal saat ini. Salah satunya ANTM yang sedang dalam posisi strong bullish dengan target harga jangka pendek di level Rp 3.600 per saham. Jika harga emas global terus menanjak, harga saham ANTM berpotensi menuju ke level Rp 4.000 per saham.
Halaman : 1 2