Scroll untuk baca artikel
Ekonomi dan Bisnis

Hantu Kredit Macet dan Jeratan Hukum: Saat Utang Bisnis Berujung Pidana

×

Hantu Kredit Macet dan Jeratan Hukum: Saat Utang Bisnis Berujung Pidana

Sebarkan artikel ini
kredit macet
Seorang pedagang kelontong tampak murung di depan toko sembako miliknya, mencerminkan dampak nyata dari hantu kredit macet yang menghantui pelaku usaha kecil di Indonesia. Banyak UMKM terjebak dalam lilitan utang karena penurunan daya beli dan tekanan ekonomi pasca pandemi.

Inflasi dan Daya Beli Anjlok, Kredit Terganggu

Inflasi tinggi sepanjang 2025 menekan harga kebutuhan pokok, energi, dan logistik, menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi nasional mencapai 4,2% pada kuartal kedua 2025, dengan lonjakan signifikan di sektor pangan dan transportasi.

Sementara itu, pendapatan masyarakat tidak mengalami kenaikan yang sepadan.

Baca Juga  BI Turunkan Suku Bunga Lagi, Sinyal Kuat Ekonomi Ditopang Stabilitas Inflasi

Kondisi ini berdampak besar pada sektor UMKM dan distribusi barang pokok, yang mengalami penurunan omzet tajam dan penyusutan margin keuntungan hingga lebih dari 50%.

Cashflow terganggu, cicilan tertunda, dan pinjaman mulai diklasifikasikan sebagai kredit bermasalah oleh perbankan.

Kriminalisasi Debitur dan Kegagalan Regulasi

Kasus Hamidi memperlihatkan bagaimana kegagalan membayar kredit karena tekanan ekonomi justru berujung pada kriminalisasi.

Seluruh proses kreditnya telah memenuhi SOP perbankan dan tidak mengandung unsur fraud, namun ia tetap ditetapkan sebagai tersangka.

Pakar hukum Sobirin, SH, seperti dikutip dari Pikiran Rakyat, menilai tindakan OJK tersebut sebagai bentuk over enforcement, yakni penerapan hukum pidana secara berlebihan pada kasus yang lebih layak diselesaikan secara perdata atau administratif.

Baca Juga  Nilai Tukar Rupiah Melemah Dihantam Ketegangan Timur Tengah: Harga Minyak dan Risiko Inflasi Jadi Ancaman

“Hukum pidana adalah ultimum remedium, bukan sarana utama dalam penyelesaian kredit macet yang hakikatnya merupakan sengketa perdata,” ujar Sobirin.

Tidak ditemukan adanya penipuan, pemalsuan dokumen, ataupun korupsi dalam kasus Hamidi.

Proses kredit bahkan sudah melalui prosedur dan SOP bank. Namun menurut Pasal 184 KUHAP, status tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti sah dan adanya niat jahat (mens rea).

Sobirin memperingatkan, tindakan OJK dapat menjadi preseden buruk bagi dunia usaha karena pelaku beritikad baik tetap dikriminalisasi.

Hal ini menimbulkan ketakutan di kalangan pengusaha dan melemahkan kepercayaan terhadap sistem hukum dan keuangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *