Restorative Justice yang Tak Diindahkan
Padahal, Peraturan OJK No. 16 Tahun 2023 serta PP No. 5 Tahun 2023 secara eksplisit membuka ruang penyelesaian perkara melalui restorative justice.
Tujuannya jelas, yakni untuk mendorong penyelesaian damai dan menghindari proses hukum yang panjang dan berlarut.
Namun, dalam praktiknya, regulasi tersebut tampaknya tidak dijadikan acuan dalam penanganan kasus Hamidi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terhadap konsistensi penerapan hukum oleh lembaga pengawas seperti OJK.
Ketika pengusaha dengan niat menyelesaikan utang tetap dijadikan tersangka, maka terjadi distorsi dalam tatanan hukum ekonomi.
Dunia usaha memerlukan kepastian hukum dan perlindungan atas risiko wajar dalam bisnis, bukan ancaman pidana atas kegagalan bayar yang tidak didasari niat buruk.
Dampak Sistemik dan Ancaman Instabilitas Keuangan
Langkah OJK dalam kasus ini menciptakan ketidakpastian hukum yang luas. Penurunan minat masyarakat untuk berusaha dan potensi meningkatnya pengangguran akibat penutupan usaha menjadi konsekuensi nyata.
Jika tidak diantisipasi, rasio NPL nasional berisiko melonjak dan menggerus kepercayaan publik terhadap sektor keuangan. Hal ini akan memperburuk aliran kredit dan mempercepat kontraksi ekonomi nasional.
Bank Indonesia telah mengingatkan bahwa rasio kredit bermasalah di atas 5% dapat memicu instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, langkah antisipatif dari pemerintah menjadi sangat mendesak.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya