Kredit Macet Mengancam di Berbagai Kota
Fenomena serupa mulai terlihat di berbagai kota besar:
-
Jakarta: sektor properti mengalami tren gagal bayar.
-
Surabaya: UMKM kuliner mengalami penurunan omzet hingga 60%.
-
Makassar: sektor logistik mencatat peningkatan piutang tak tertagih secara signifikan.
Tanpa intervensi serius, fenomena ini berpotensi berkembang menjadi krisis multidimensi: keuangan, hukum, sosial, dan politik.
Medan Jadi Episentrum Krisis
Dalam artikel berjudul “Inflasi, Debitur Cidera Janji, dan Ledakan Kredit Macet di Kota Medan”, praktisi hukum Gumilar Aditya Nugroho, SH menegaskan bahwa inflasi bukan sekadar angka dalam laporan, tetapi kenyataan yang menghancurkan stabilitas bisnis dan daya tahan finansial pelaku usaha.
Menurut Gumilar, dalam beberapa bulan terakhir, kantornya menerima banyak konsultasi hukum dari pelaku usaha di Medan yang menghadapi ketidakmampuan membayar utang bank.
Dalam istilah hukum dikenal sebagai wanprestasi, dan dalam istilah ekonomi disebut sebagai kredit macet (NPL).
Peningkatan harga bahan baku, distribusi, dan operasional menciptakan tekanan luar biasa pada pengusaha. Banyak dari mereka, terutama UMKM dan sektor perdagangan, mengalami penurunan pendapatan drastis. Biaya membengkak, namun pemasukan justru stagnan atau turun.
Data BPS menunjukkan inflasi Kota Medan pada triwulan pertama 2025 mencapai 3,7%, dengan sektor pangan, transportasi, dan energi menjadi penyumbang utama.
Salah satu klien Gumilar yang bergerak di bisnis distribusi sembako melaporkan penurunan margin hingga lebih dari 50% dalam waktu kurang dari tiga bulan. Akibat krisis likuiditas, ia gagal membayar angsuran pinjaman modal kerja dari bank BUMN dan menerima surat peringatan.
Lebih dari 15 pengusaha lainnya juga melaporkan keluhan serupa dengan benang merah yang sama: daya beli yang merosot dan tekanan inflasi, yang membuat cicilan kredit menjadi beban tak tertanggungkan.












