Di Indonesia, pengembangan biodiesel dimulai sejak tahun 2006 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2006 tentang Penggunaan Bahan Bakar Nabati untuk Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Sejak saat itu, produksi biodiesel kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dan menjadi salah satu negara produsen biodiesel kelapa sawit terbesar di dunia.
Pengembangan biodiesel kelapa sawit di Indonesia memiliki latar belakang pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan dan meningkatkan kemandirian energi nasional.
Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketergantungan pada bahan bakar fosil yang semakin tinggi, maka upaya-upaya untuk mengembangkan energi terbarukan seperti biodiesel harus terus dilakukan bersama-sama oleh pemerintah, produsen biodiesel, serta masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penggunaan biodiesel kelapa sawit sebagai bahan bakar alternatif juga memiliki manfaat yang besar bagi lingkungan dan ekonomi, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara, meningkatkan kemandirian energi nasional, serta mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Sejarah Penemuan Biodiesel Pertama di Dunia
Biodiesel merupakan pencampuran antara minyak nabati dengan solar/diesel fosil. Ide awal pengembangan biodiesel di dunia dicetuskan oleh Rudolf Diesel tahun 1893. Pada waktu itu, Rudolf Diesel mencoba berbagai bahan bakar alternatif untuk menggerakkan mesin diesel temuannya. Bahan bakar yang dicoba mulai dari solar fosil, debu batu bara/coal dust hingga minyak nabati.
Penggunaan minyak nabati pada mesin diesel dipamerkan kepada publik untuk pertama kalinya di World’s Fair di Paris tahun 1900. Dalam pameran tersebut, Rudolf Diesel menggunakan minyak kacang tanah sebagai bahan bakar mesin diesel.
Keberhasilan pameran tersebut memukau pengunjung dan juga memotivasi Rudolf Diesel melakukan riset mendalam untuk mengejawantahkan visinya.
Ide pengembangan minyak nabati sebagai bahan bakar diesel pun harus pupus seiring dengan wafatnya Rudolf Diesel pada tahun 1913. Selain itu, ditemukannya proses destilasi minyak bumi yang menghasilkan solar fosil sebagai bahan bakar mesin diesel, membuat riset biodiesel semakin ditinggalkan.
Jika dibandingkan solar fosil, minyak nabati memiliki kelemahan sebagai bahan bakar mesin diesel yakni tidak bisa langsung digunakan pada mesin dan viskositasnya relatif lebih tinggi sehingga menyulitkan proses pembakaran.
Setelah harus terhenti cukup lama, penelitian minyak nabati sebagai bahan bakar diesel mendapat titik terang ketika G. Chavanne, ilmuwan Belgia, menemukan teknik tranesterifikasi pada tahun 1937.
Teknis tersebut dapat mengubah minyak nabati menjadi FAME (Fatty Acid Methyl Ester) sehingga sifat fisik atau molekulnya mirip dengan solar fosil.
Pengembangan biodiesel dunia semakin serius pada tahun 1970-an sebagai respon atas krisis minyak dunia. Terlebih dengan meningkatnya environment awareness, biodiesel sebagai energi rendah emisi dan lebih ramah lingkungan, mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat global.
Dan hingga hari ini pengembangan dan penggunaan biodiesel semakin intensif dilakukan di berbagai negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu negara produsen biodiesel, pengembangan biodiesel di Indonesia masih tergolong baru dibandingkan dengan negara lain seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Argentina atau Brazil yang telah terlebih dahulu mengembangkan biodiesel.
Meskipun baru seumur jagung, namun industri biodiesel Indonesia semakin berkibar dengan menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya