Ia menilai pemerintah bisa segera memperkuat pendalaman pasar keuangan dengan menghadirkan instrumen kredibel, seperti penerbitan global bond pemerintah atau obligasi dolar oleh BUMN strategis, misalnya Pertamina dan PLN.
Fakhrul mencatat, kebutuhan pembiayaan dolar sektor swasta saat ini menurun, yang terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) non-rupiah perbankan di bawah 80%.
“Harus langsung ada prospek proyek dan pinjaman dolar yang jelas. Itu yang membuat pasar percaya bahwa dolar masuk ke Indonesia punya arah,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk menahan pelemahan rupiah, Fakhrul mengusulkan tiga langkah strategis.
-Pertama, Pemerintah, Pertamina, atau PLN segera menerbitkan dolar bond untuk menampung likuiditas.
-Kedua, bank-bank nasional yang memiliki likuiditas dolar diarahkan menyalurkan pinjaman ke pasar luar negeri, sejalan dengan misi penguatan BUMN perbankan.
-Ketiga, meninjau ulang kebijakan bunga deposito USD 4% yang dinilai memengaruhi ekspektasi pasar secara drastis.
Lebih jauh, Fakhrul menekankan pentingnya membangun pasar mata uang dan derivatif dalam negeri yang lebih dalam. Saat ini, Indonesia menghadapi keterbatasan aset berdenominasi dolar, baik dalam bentuk pinjaman maupun obligasi.
“Kita sudah berhasil menurunkan kebutuhan dolar lewat kewajiban penggunaan rupiah di berbagai transaksi. Ke depan, yang mendesak adalah memperluas instrumen pasar dan memperkuat analisis risiko,” tegasnya.
Meski saat ini rupiah masih berada di level Rp 16.700 per dolar, Fakhrul menilai kondisi tersebut sudah overshooting.
Dengan asumsi suku bunga AS akan turun dan neraca perdagangan Indonesia masih surplus besar, peluang penguatan rupiah cukup terbuka.
“Kalau kebijakan bisa dijalankan dengan koheren, rupiah bisa kembali ke level 16.000 atau bahkan lebih kuat. Jadi bukan saatnya membeli dolar sekarang,” pungkasnya.
Halaman : 1 2