Kelompok ini menerapkan manajemen panen modern, termasuk pencatatan absensi pemanen, waktu panen, harga jual, dan biaya operasional. Tujuannya agar setiap anggota kelompok tetap disiplin dan solidaritas antarpetani terus terjaga.
Dari Konflik Hutan Adat ke Gerakan Ekonomi Mandiri
Kelompok Tani Naposo Pature Huta bukan nama baru dalam perjuangan masyarakat adat di Sumatera Utara.
Mereka pernah berkonflik dengan perusahaan eukaliptus PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang menyerobot wilayah adat Pandumaan-Sipituhuta.
Setelah bertahun-tahun memperjuangkan haknya, pada 2019 pemerintah akhirnya mengesahkan wilayah tersebut sebagai hutan adat milik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta.
Kini, lima tahun berselang, kelompok yang dulu dikenal lewat perjuangan mempertahankan tanah adat itu bertransformasi menjadi simbol kemandirian ekonomi rakyat.
Bangun Konektivitas Desa-Kota Lewat Cabai
Kolaborasi Naposo Pature Huta dan AKBAR Sumut ini bukan hanya soal jual beli hasil tani, tetapi membangun rantai pasok baru antara desa dan kota tanpa perantara besar.
Model ini diyakini bisa menjadi prototipe ekonomi solidaritas rakyat di tengah tekanan ekonomi dan ketimpangan harga pangan.
“Kami ingin petani di desa dan buruh di kota saling menopang. Dari tanah, untuk rakyat,” tutup Didi Haryanto.