Sementara itu, Nanang Wahyudin, Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, menilai pelemahan WTI di akhir pekan lebih disebabkan oleh aksi ambil untung dan penguatan dolar AS menjelang rilis data inflasi Amerika Serikat.
“Penurunan harga WTI sebagian besar merupakan aksi ambil untung setelah kenaikan tajam sehari sebelumnya,” kata Nanang.
Ia menjelaskan, penguatan dolar AS membuat harga komoditas berbasis dolar, termasuk minyak, cenderung terkoreksi. Selain itu, kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global—terutama di Eropa dan Tiongkok—menimbulkan potensi pelemahan permintaan minyak (demand destruction).
Meski begitu, Nanang menilai faktor pasokan masih menjadi penopang utama harga. Keputusan OPEC+ untuk menjaga pembatasan produksi serta meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah dan Rusia dapat menahan harga agar tidak turun lebih dalam.
Secara teknikal, Nanang melihat harga WTI kini berada dalam fase konsolidasi setelah koreksi dari puncak di sekitar US$80 per barel pada awal Juni 2025. Indikator momentum menunjukkan awal pembentukan tren positif meskipun belum kuat. Resistance terdekat berada di US$63,8–66,6, sementara support utama di US$56,6–60 per barel.
Nanang memperkirakan pergerakan harga minyak masih akan sideways dengan kecenderungan bullish terbatas menjelang akhir tahun.
Ia menilai, jika OPEC+ mempertahankan produksi ketat dan risiko geopolitik meningkat, harga berpotensi menembus resistance di kisaran US$66 per barel.
Kedua analis memperkirakan harga minyak WTI hingga akhir tahun 2025 akan berada di rentang US$58–66 per barel, dengan titik tengah di kisaran US$62–63 per barel.
Sutopo menilai dinamika geopolitik, kebijakan OPEC+, dan struktur pasar yang cenderung contango menjadi faktor utama penggerak harga.
Sementara Nanang menegaskan bahwa pergerakan harga jangka menengah masih bergantung pada arah permintaan global dan sikap The Fed terhadap kebijakan suku bunga.












