“Kalau bisa dilegalkan dan ditata. Di negara maju saja ditata, bukan dilarang,” tambahnya.
40 Tahun Menggantungkan Hidup di Pasar Sambu

Sementara itu, pedagang senior Opung Tiurma br. Nainggolan (76) menyampaikan kekhawatirannya bila kebijakan ini diterapkan tanpa solusi konkret bagi ribuan pedagang terdampak.
“Kalau memang harus ditutup, kasih solusinya. Kami nurut saja asalkan bisa makan,” ujarnya lirih dalam bahasa Batak.
Opung mengaku dirinya sudah berjualan sejak era 80-an dan tidak punya keahlian lain untuk menopang hidup.
Daya Beli Lemah Jadi Pemicu Konsumen Beralih ke Thrift
Penolakan juga datang dari konsumen, Uli Artha br. Siregar (45), yang menilai ekonomi masyarakat belum mampu membeli pakaian baru berkualitas.
“Harga di mall ratusan ribu, kualitas banyak yang KW (palsu). Di thrift masih bisa cari yang bagus dan murah,” jelasnya.
Dia berharap pemerintah membuat regulasi berdasarkan realitas masyarakat kecil, bukan hanya perspektif ekonomi makro.
“Sebelum buat aturan baru, pikir dulu kondisi kami rakyat bawah,” tutup Uli.
Legalitas & Solusi Menjadi Tuntutan Utama
Para pedagang meminta:
- Regulasi legal dan terukur
- Penataan distribusi monza, bukan pelarangan total
- Solusi ekonomi bila kebijakan tetap diberlakukan
Tanpa itu, mereka khawatir ribuan keluarga kehilangan mata pencaharian dalam waktu singkat.
Kontroversi Monza: Bukan Isu Baru
Pelarangan impor pakaian bekas sempat menjadi sorotan pada 2023 – 2024, didorong alasan:
- Mengganggu industri tekstil lokal
- Syak kerawanan infeksi bakteri/jamur
- Potensi penyelundupan
Namun, di lapangan, monza justru menjadi bantalan ekonomi rumah tangga berpenghasilan rendah.











