Dari sisi pasokan, sumber Reuters menyebut Arab Saudi berpotensi menurunkan harga jual minyak untuk pembeli Asia pada Desember ke level terendah dalam beberapa bulan terakhir, menandakan sentimen bearish di pasar.
Tekanan juga datang setelah survei resmi menunjukkan aktivitas manufaktur China menyusut selama tujuh bulan berturut-turut pada Oktober.
Secara bulanan, harga minyak Brent dan WTI masing-masing turun 2,6% dan 2% sepanjang Oktober, seiring peningkatan produksi oleh OPEC dan negara non-OPEC. Tambahan pasokan ini dinilai dapat meredam dampak sanksi Barat terhadap ekspor minyak Rusia ke China dan India.
Survei Reuters memperkirakan harga minyak Brent akan rata-rata US$ 67,99 per barel pada 2025, naik tipis 38 sen dibandingkan perkiraan bulan lalu. Sementara WTI diperkirakan rata-rata US$64,83 per barel, sedikit lebih tinggi dari estimasi September.
Menjelang pertemuan OPEC+ pada Minggu, sejumlah sumber menyebut kelompok produsen minyak itu cenderung menambah produksi secara moderat pada Desember.
Namun Kilduff menilai, sebagian besar anggota OPEC+ selain Arab Saudi tidak memiliki kapasitas tambahan yang berarti.
“Tidak banyak yang bisa mereka tambahkan, kecuali dari Saudi,” katanya. Data Joint Organization Data Initiative (JODI) mencatat ekspor minyak mentah Saudi pada Agustus mencapai 6,407 juta barel per hari*, tertinggi dalam enam bulan.
Di sisi lain, laporan U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan produksi minyak AS mencapai rekor 13,6 juta barel per hari pekan lalu.
Trump juga menyatakan bahwa China telah sepakat memulai pembelian energi dari AS, termasuk rencana besar pembelian minyak dan gas dari Alaska.
Namun, sejumlah analis masih meragukan kesepakatan itu akan berdampak signifikan terhadap permintaan energi AS dari China.












