Kedua, disparitas kebijakan moneter global, yang mana jika bank sentral lain (seperti ECB dan BOE) mulai melonggarkan kebijakan lebih agresif daripada The Fed, daya tarik imbal hasil obligasi AS akan tetap tinggi, mendukung DXY.
Ketiga, risiko geopolitik dan ekonomi global, yang mana setiap peningkatan ketidakpastian misalnya konflik geopolitik atau perlambatan tajam di China akan memicu flight to safety ke dolar AS, menjaga DXY tetap tinggi.
Menyikapi volatilitas DXY saat ini, lanjut Sutopo, langkah paling bijak bagi investor adalah mengadopsi pendekatan diversifikasi dan menunggu konfirmasi data. Valuta asing yang menarik untuk diakumulasi saat ini adalah mata uang yang memiliki carry trade tinggi dan fundamental domestik yang kuat, atau mata uang safe haven selain dolar.
Misalnya, Yen Jepang (JPY) menarik diakumulasi sebagai lindung nilai (hedging) terhadap risiko global dan karena potensi intervensi BOJ untuk menghentikan depresiasinya yang tajam.
“Rekomendasinya adalah buy the dip pada valuta non-USD yang fundamentalnya kuat (seperti komoditas Australia/AUD) selama DXY sedang melemah, namun tetap menahan sebagian modal untuk mengantisipasi rebound DXY,” imbuhnya.
Mengingat faktor-faktor yang disebutkan, proyeksi harga DXY cenderung stabil di level tinggi. Untuk proyeksi harga DXY hingga akhir tahun 2025, dengan asumsi The Fed mempertahankan sikap hawkish minimal hingga awal tahun depan dan tanpa data inflasi yang anjlok drastis, DXY diperkirakan akan diperdagangkan dalam rentang proyeksi angka 100,5 hingga 102,5.
Sementara itu, proyeksi rentang harga angka DXY pada tahun 2026 akan sangat bergantung pada kapan The Fed mulai memangkas suku bunga. Jika pemotongan suku bunga dilakukan secara bertahap dan ekonomi AS menunjukkan pendaratan lunak (soft landing), DXY mungkin akan perlahan melemah.
Rentang proyeksi untuk tahun 2026, diperkirakan DXY berada di kisaran 98,0 hingga 101,5, yang menandakan tekanan pelemahan dolar AS secara bertahap.












