Indonesia, lewat BI, justru menegaskan bahwa QRIS dan GPN hadir untuk memperkuat ekosistem pembayaran nasional. Dengan sistem ini, pelaku usaha kecil hingga wisatawan mancanegara kini bisa bertransaksi secara mudah, murah, dan aman tanpa harus bergantung pada biaya tinggi yang kerap dikenakan jaringan internasional.
Bagi Indonesia, kritik AS justru menjadi bukti nyata bahwa QRIS dan GPN sudah berada di jalur yang tepat. Apa yang disebut ancaman oleh Washington, di mata Jakarta adalah kedaulatan digital finansial.
Tak berlebihan jika ekspansi QRIS ke Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Jepang dan China, dipandang sebagai simbol Indonesia yang berani menulis aturan mainnya sendiri dalam ekosistem keuangan global.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan nominal transaksi lintas negara yang sudah menembus Rp1,66 triliun per Juni 2025, posisi Indonesia dalam peta ekonomi digital semakin sulit diabaikan.
Antara Kritik dan Ketakutan
Jika dibaca lebih jauh, kritik USTR terhadap sistem pembayaran QRIS sesungguhnya menggambarkan ketakutan Amerika Serikat kehilangan dominasi di sektor pembayaran global.
Visa dan MasterCard, yang selama puluhan tahun menikmati posisi hegemonik, kini mulai tergeser oleh inovasi lokal yang berpijak pada prinsip inklusi finansial.
QRIS yang awalnya dianggap sekadar standar pembayaran domestik, kini menjelma menjadi alat diplomasi digital Indonesia.
Dan semakin keras kritik dari luar, semakin jelas bahwa kemandirian finansial yang sedang dibangun Indonesia melalui QRIS bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan yang mulai mengubah lanskap global.