Scroll untuk baca artikel
Daerah

Miris! Siswi SMA di Gunungsitoli Dilarang Ujian karena Tunggak SPP, Program Sekolah Gratis Gubernur Sumut Dipertanyakan

×

Miris! Siswi SMA di Gunungsitoli Dilarang Ujian karena Tunggak SPP, Program Sekolah Gratis Gubernur Sumut Dipertanyakan

Sebarkan artikel ini
Siswi SMA Gunungsitoli
Khairatun Gea, siswi SMA Negeri 1 Gunungsitoli yang merupakan anak yatim, dilarang ikut ujian lantaran menunggak uang SPP. Foto: Topikseru.com/AMK.

“Hati orang tua mana yang tidak sedih melihat anaknya tidak bisa ikut ujian hanya karena menunggak uang sekolah,” ujarnya terbata.

Pihak Sekolah: “Kami Tidak Pernah Larang Siswa Ujian”

Sementara itu, Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Gunungsitoli, Otenieli Halawa, mengaku belum mengetahui adanya larangan tersebut.

Menurutnya, sekolah berkomitmen tidak akan menahan siswa mengikuti ujian karena tunggakan.

“Kami tetap komit apapun alasannya siswa harus ujian meski belum bayar uang sekolah. Kami akan panggil wali kelas untuk menindaklanjuti persoalan ini,” kata Otenieli.

Program Sekolah Gratis Rp 31 Miliar Gubernur Sumut Dipertanyakan

Kasus yang menimpa Khairatun menjadi tamparan keras bagi program unggulan “Sekolah Gratis” di Kepulauan Nias, program yang digadang-gadang sebagai ikon pemerintahan Gubernur Sumut Bobby Nasution.

Baca Juga  Lowongan Magang, PalmCo Buka Peluang untuk Gen Z Menuju Dunia Kerja

Dengan anggaran fantastis Rp 31 miliar, program ini digembar-gemborkan sebagai terobosan untuk meniadakan beban biaya pendidikan di daerah tertinggal.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: masih ada siswa miskin yang terancam gagal ujian karena tunggakan SPP.

Di Nias, “sekolah gratis” ternyata belum sepenuhnya gratis. Di balik slogan pembangunan, masih ada anak-anak yang bekerja demi bisa belajar.

Antara Janji dan Realita: Sekolah Gratis yang Tak Menyentuh Akar Masalah

Kasus Khairatun menyingkap sisi gelap dari sistem pendidikan yang masih timpang.
Ketika kebijakan dibuat dari podium dan baliho, di lapangan masih ada guru yang menolak kemanusiaan hanya karena angka rupiah.

Jika kasus seperti ini terus berulang, program “Sekolah Gratis” berisiko kehilangan maknanya,
ibarat mengganang asap: terdengar muluk, tapi sulit diwujudkan.