Topikseru.com – Konflik agraria di wilayah adat Lamtoras-Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, kembali memanas setelah bentrokan antara warga adat dengan pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) pecah pada 22 September 2025 lalu. Insiden tersebut menambah panjang daftar kekerasan yang dialami masyarakat adat di kawasan konsesi perusahaan bubur kertas tersebut.
Berdasarkan laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, bentrokan bermula ketika pihak perusahaan disebut menyerang kawasan yang selama ini dikelola masyarakat adat.
Akibat kejadian itu, 33 warga mengalami luka-luka, sementara 10 sepeda motor, satu mobil pikap, dan empat rumah warga terbakar.
Ketua AMAN Tano Batak, Johntony Tarihoran, menyebut akar persoalan terletak pada lambannya negara mengakui keberadaan dan hak hukum masyarakat adat.
“Upaya masyarakat adat menuntut pengakuan atas tanahnya sudah dilakukan sejak era reformasi. Tapi sampai sekarang, negara belum juga memberikan kejelasan hukum,” ujar Johntony dalam konferensi pers di Ateku CafĂ©, Medan Baru, Senin (27/10/2025).
Tanah yang Dikuasai 11 Generasi
Wilayah adat Lamtoras-Sihaporas telah dihuni dan dikelola turun-temurun oleh masyarakat marga Ambarita sejak sekitar tahun 1800, atau setidaknya 11 generasi.
Tokoh adat setempat, Opung Mangitua Ambarita, menjelaskan bahwa leluhur mereka membuka lahan dengan kesepakatan batas wilayah bersama kampung tetangga seperti Tanah Jawa dan Siantar.
“Batas-batas itu sudah disepakati sejak dulu, agar keturunan kami tidak saling berselisih di kemudian hari,” kata Opung Mangitua.
Namun, sejarah panjang penguasaan tanah itu terguncang pada masa kolonial. Tahun 1913, pemerintah Belanda disebut melakukan peminjaman lahan secara paksa di kawasan Sihaporas.







