Scroll untuk baca artikel
Daerah

Konflik Tanah Adat Lamtoras-Sihaporas Kembali Memanas, 33 Warga Luka Saat Bentrok dengan PT Toba Pulp Lestari

×

Konflik Tanah Adat Lamtoras-Sihaporas Kembali Memanas, 33 Warga Luka Saat Bentrok dengan PT Toba Pulp Lestari

Sebarkan artikel ini
konflik PT Toba Pulp Lestari
Opung Mangitua Ambarita sedang menjelaskan sejarah perjuangan masyarakat adat Lamtoras-Sihaporas mempertahankan tanah leluhurnya yang telah dihuni selama 11 generasi, di Ateku Cafe, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Senin (27/10/2025). topikseru.com/Agus Sinaga

Tiga tahun kemudian, pada 1916, Belanda bahkan membuat peta wilayah adat Sihaporas yang menjadi bukti pengakuan administratif atas keberadaan komunitas adat tersebut.

“Yang kami sesalkan, Belanda saja mengakui Sihaporas. Tapi setelah merdeka, negara justru tidak,” ucap Opung Mangitua.

Dari Indorayon hingga TPL: Jejak Konsesi yang Dipersoalkan

Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai menginventarisasi tanah di berbagai daerah, termasuk wilayah adat Lamtoras-Sihaporas. Namun, pada 1986, tanpa persetujuan masyarakat adat, negara memberikan izin konsesi kepada PT Indorayon Utama, yang kini berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Sejak saat itu, masyarakat adat kehilangan akses terhadap lahan tempat mereka berladang dan menggantungkan hidup.

“Kami tidak bisa lagi membuka ladang, membangun rumah, atau mengambil hasil hutan adat. Dari situlah kami tahu bahwa negara telah mencaplok tanah kami,” ujar Opung Mangitua dengan nada getir.

Baca Juga  Sorbatua Bebas, AMAN Tano Batak: Seperti Bermimpi

Pasca reformasi, komunitas Lamtoras-Sihaporas kembali menuntut pengembalian hak atas tanah adat mereka. Namun hingga kini, tidak ada keputusan resmi dari pemerintah yang mengakui klaim masyarakat adat tersebut.

Tuntutan Pengakuan dan Perlindungan Hukum

AMAN Tano Batak menilai pemerintah harus segera mempercepat penerbitan regulasi pengakuan masyarakat adat, baik di tingkat nasional maupun daerah, agar konflik seperti ini tidak terus berulang.

“Keterlambatan regulasi telah menyebabkan banyak penderitaan. Negara harus hadir untuk mengakhiri kekerasan terhadap masyarakat adat,” tegas Johntony.

Sementara itu, berbagai organisasi sipil dan akademisi di Sumatera Utara mendorong agar pemerintah melakukan audit izin konsesi PT TPL, termasuk meninjau ulang batas-batas wilayah adat yang telah terdaftar di peta konflik agraria nasional.

Konflik Lamtoras-Sihaporas menjadi salah satu potret nyata bagaimana ketidakhadiran negara dalam menyelesaikan persoalan agraria berpotensi memicu kekerasan berulang di Tanah Batak.