Nelayan Tradisional di Tapteng Menjerit Dijepit Pukat Trawl

Jumat, 10 Januari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penampakan pukat trawl yang beroperasi di perairan Sibolga dan Tapteng. Foto: tangkapan layar video

Penampakan pukat trawl yang beroperasi di perairan Sibolga dan Tapteng. Foto: tangkapan layar video

TOPIKSERU.COM, TAPTENG – Nelayan tradisional di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga kian terjepit dengan beroperasinya pukat trawl di kawasan perairan pantai barat Sumatera Utara. Hasil tangkapan menurun drastis sejak alat tangkap ikan ilegal itu berkeliaran.

Pukat trawl terus beroperasi saban hari tanpa takut ditindak. Alat tangkap terlarang ini setiap hari menguras dan meninggalkan jejak kerusakan di dasar laut.

Sementara, para nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari menangkap ikan menggunakan peralatan sederhana dan ramah lingkungan, kian menjerit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Sejak 2021 hingga 2024, nelayan bagan pancang menjerit. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan keluarga saja kewalahan, apalagi (untuk) bayar cicilan di bank,” kata Gea, Kamis (9/1).

Gea adalah mantan ketua perkumpulan nelayan bagan pancang Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Pria berusia 58 tahun ini mengungkapkan bagi mereka, nelayan bagan pancang, keberadaan pukat trawl adalah ancaman besar bagi nelayan yang ada di wilayah Sibolga dan Tapteng.

Dia menceritakan pengalamannya pernah memiliki empat unit bagan dengan harga pembuatan satu unit mencapai Rp 80 juta. Pembiayaannya berasal dari pinjaman bank.

Namun, kondisi berubah tatkala mulai beroperasinya secara bebas pukat trawl di kawasan pantai barat. Walhasil, dari empat bagan kini hanya tersisa satu, sebab harus menutupi cicilan bank.

“Mau bagaimana lagi, hasil tangkapan ikan dari satu unit bagan tidak dapat menutupi pengeluaran. Sehingga hampir setiap melaut harus menutupi kerugian,” ujar Gea.

“Pukat trawl menghancurkan ekosistem di laut, telur ikan di karang dirusak, anak-anak ikan terjaring hingga hingga populasinya menurun,” tambahnya.

Gea yang sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari hasil laut, berharap pemerintah turun tangan mengatasi persoalan pukat trawl tersebut.

Baca Juga  Puluhan Honorer Geruduk Kantor Dinkes Tapteng, Tuntut Pengangkatan PPPK

“Bila tidak bisa di berantas, setidaknya dibuat zona wilayah tangkap sehingga tidak menggangu nelayan tradisional,” kata Gea.

Dia menilai, hanya di wilayah perairan Tapteng dan Sibolga pukat trawl masih bebas beroperasi. Sementara di beberapa wilayah telah melarang keras alat tangkap perusak laut itu.

“Makanya saya heran dengan pemerintah Sibolga dan Tapteng yang melakukan pembiaran terhadap kapal penangkap ikan ilegal tersebut beroperasi,” ujar Gea.

Menurutnya, nelayan bagan pancang sangat membantu kehidupan masyarakat dan membuka lapangan kerja bagi para ibu di rumah untuk menambah pemasukan keluarga.

Pukat trawl Tapteng
Hasil tangkapan ikan para nelayan bagan pancang dalam satu malam saat dijemur, di Kelurahan Hajoran Indah, Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Kamis (9/1). Foto: Topikseru.com /Jasman Julius

Setiap pagi para nelayan bagan pancang pulang dari laut, dan membawa Ikan hasil tangkapan yang berjenis-jenis, sehingga diperlukan tenaga untuk memilih ikan sesuai jenisnya yang kemudian direbus dan dijadikan ikan asin.

“Ibu-ibu tersebut memilih ikan dan diberi upah Rp 60.000 per orang,” ungkapnya.

Selanjutnya, nelayan bagan pancang Hajoran Indah juga mengungkapkan keresahan yang sama.

Zalukhu (48), sehari-hari bekerja sebagai nelayan bagan pancang mengungkapkan kehadiran pukat trawl sangat merusak ekosistem laut.

“Kami nelayan di wilayah Hajoran Indah pernah demonstrasi ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga (PPN), agar memberhentikan beroperasinya kapal pukat harimau (trawl),” kata Zalukhu.

Saat ini hasil laut menurun drastis, dalam satu malam terkadang tidak dapat hasil, kalaupun dapat hanya pas-pasan.

“Contoh malam ini hanya dapat 12 Kg, kita rebus dan jemur tinggal 9 kg dijual dengan harga Rp 50.000 total hasil Rp 450.000, dipotong biaya operasional paling sisa Rp 80.000, itulah yang dibagi buat kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah,” pungkasnya.

Penulis : Jasman Julius

Editor : Muchlis

Follow WhatsApp Channel topikseru.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Diduga Sopir Mengantuk, Bus ALS Medan–Padang Tabrak Warung Warga di Labusel, 5 Luka-Luka
Kelompok Tani Hutan di Langkat Diintimidasi Diduga oleh Aparat TNI, WALHI Sumut Angkat Bicara!
Bus ALS Medan–Padang Tabrak Empat Warung dan Terbalik di Labuhan Batu Selatan, Sopir Kabur!
Kombat Ultimatum Garuda Indonesia & Avsec Kualanamu, Siap Kerahkan Ribuan Massa Jika Tak Minta Maaf
“Habis Asap Terbitlah Sawit”, Komunitas Nonblok Sikukeluang Sindir Perkebunan Sawit Lewat Instalasi Plastik di Medan
Nonblok Ekosistem Ubah Limbah Plastik Jadi Karya Seni: Gerakan “Operasi Asoy” Anak Muda Riau Melawan Sampah
Lurah Perintis dan Warga yang Dorong ke Parit Akhirnya Damai, Wali Kota Medan Angkat Bicara
Geger! Puluhan Siswa di Toba Keracunan Program MBG, BGN Segel SPPG Pardomuan Nauli

Berita Terkait

Selasa, 21 Oktober 2025 - 18:14

Diduga Sopir Mengantuk, Bus ALS Medan–Padang Tabrak Warung Warga di Labusel, 5 Luka-Luka

Selasa, 21 Oktober 2025 - 17:06

Kelompok Tani Hutan di Langkat Diintimidasi Diduga oleh Aparat TNI, WALHI Sumut Angkat Bicara!

Selasa, 21 Oktober 2025 - 16:16

Bus ALS Medan–Padang Tabrak Empat Warung dan Terbalik di Labuhan Batu Selatan, Sopir Kabur!

Senin, 20 Oktober 2025 - 16:32

Kombat Ultimatum Garuda Indonesia & Avsec Kualanamu, Siap Kerahkan Ribuan Massa Jika Tak Minta Maaf

Minggu, 19 Oktober 2025 - 19:57

“Habis Asap Terbitlah Sawit”, Komunitas Nonblok Sikukeluang Sindir Perkebunan Sawit Lewat Instalasi Plastik di Medan

Berita Terbaru