Nelayan Menjerit Dijepit Pukat Trawl
Sejumlah nelayan tradisional di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Sibolga terus menyuarakan dampak beroperasinya pukat trawl di perairan Pantai Barat Sumatera Utara.
Pukat trawl terus beroperasi saban hari tanpa takut ditindak. Alat tangkap terlarang ini setiap hari menguras dan meninggalkan jejak kerusakan di dasar laut.
Sementara, para nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari menangkap ikan menggunakan peralatan sederhana dan ramah lingkungan, kian menjerit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sejak 2021 hingga 2024, nelayan bagan pancang menjerit. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan keluarga saja kewalahan, apalagi (untuk) bayar cicilan di bank,” kata Gea, Kamis (9/1).
Gea adalah mantan ketua perkumpulan nelayan bagan pancang Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Pria berusia 58 tahun ini mengungkapkan bagi mereka nelayan bagan pancang, keberadaan pukat trawl adalah ancaman besar bagi nelayan di wilayah Sibolga dan Tapteng.
Dia menceritakan pengalamannya pernah memiliki empat unit bagan dengan harga pembuatan satu unit mencapai Rp 80 juta. Pembiayaannya berasal dari pinjaman bank.
Namun, kondisi berubah tatkala mulai beroperasinya secara bebas pukat trawl di kawasan pantai barat. Walhasil, dari empat bagan kini hanya tersisa satu, sebab harus menutupi cicilan bank.
“Mau bagaimana lagi, hasil tangkapan ikan dari satu unit bagan tidak dapat menutupi pengeluaran. Sehingga hampir setiap melaut harus menutupi kerugian,” ujar Gea.
“Pukat trawl menghancurkan ekosistem di laut, telur ikan di karang dirusak, anak-anak ikan terjaring hingga hingga populasinya menurun,” tambahnya.
Nelayan bagan pancang Hajoran Indah, juga merasakan hal yang sama. Keberadaan pukat trawl telah lama meresahkan mereka.
Zalukhu (48), yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan bagan pancang mengungkapkan kehadiran pukat trawl sangat merusak ekosistem laut.
“Kami nelayan di wilayah Hajoran Indah pernah demonstrasi ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga (PPN), agar memberhentikan beroperasinya kapal pukat harimau (trawl),” kata Zalukhu.
Saat ini hasil laut menurun drastis, dalam satu malam terkadang tidak dapat hasil, kalaupun dapat hanya pas-pasan.
“Contoh malam ini hanya dapat 12 Kg, kita rebus dan jemur tinggal 9 kg dijual dengan harga Rp 50.000 total hasil Rp 450.000, dipotong biaya operasional paling sisa Rp 80.000, itulah yang dibagi buat kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah,” pungkasnya.
Penulis : Jasman Julius
Editor : Muchlis
Halaman : 1 2