“Banyak nelayan kecil kehilangan jaring, rumpon-rumpon yang terpasang untuk jerat ikan rusak akibat ulah pukat trawl,” kata Sudi Anto Silalahi.
Dia menyebut secara aturan soal alat tangkap ikan tela diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan. Sementara untuk penggunaan alat tangkap telah diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36 Tahun 2023.
Kendati telah ada aturan, HNSI Tapteng menilai peraturan tersebut tidak berlaku bagi para pengusaha pukat trawl di wilayah Kabupaten Tapteng dan Sibolga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Buktinya masih banyak pukat trawl menguasai perairan laut Tapteng,” tegasnya.
Nelayan Menjerit Dijepit Pukat Trawl
Sejumlah nelayan tradisional di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Sibolga terus menyuarakan dampak beroperasinya pukat trawl di perairan Pantai Barat Sumatera Utara.
Pukat trawl terus beroperasi saban hari tanpa takut ditindak. Alat tangkap terlarang ini setiap hari menguras dan meninggalkan jejak kerusakan di dasar laut.
Sementara, para nelayan tradisional yang menggantungkan hidup dari menangkap ikan menggunakan peralatan sederhana dan ramah lingkungan, kian menjerit.
“Sejak 2021 hingga 2024, nelayan bagan pancang menjerit. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan keluarga saja kewalahan, apalagi (untuk) bayar cicilan di bank,” kata Gea, Kamis (9/1).
Gea adalah mantan ketua perkumpulan nelayan bagan pancang Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Pria berusia 58 tahun ini mengungkapkan bagi mereka nelayan bagan pancang, keberadaan pukat trawl adalah ancaman besar bagi nelayan di wilayah Sibolga dan Tapteng.
Dia menceritakan pengalamannya pernah memiliki empat unit bagan dengan harga pembuatan satu unit mencapai Rp 80 juta. Pembiayaannya berasal dari pinjaman bank.
Namun, kondisi berubah tatkala mulai beroperasinya secara bebas pukat trawl di kawasan pantai barat. Walhasil, dari empat bagan kini hanya tersisa satu, sebab harus menutupi cicilan bank.
“Mau bagaimana lagi, hasil tangkapan ikan dari satu unit bagan tidak dapat menutupi pengeluaran. Sehingga hampir setiap melaut harus menutupi kerugian,” ujar Gea.
“Pukat trawl menghancurkan ekosistem di laut, telur ikan di karang dirusak, anak-anak ikan terjaring hingga hingga populasinya menurun,” tambahnya.
Nelayan bagan pancang Hajoran Indah, juga merasakan hal yang sama. Keberadaan pukat trawl telah lama meresahkan mereka.
Zalukhu (48), yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan bagan pancang mengungkapkan kehadiran pukat trawl sangat merusak ekosistem laut.
“Kami nelayan di wilayah Hajoran Indah pernah demonstrasi ke Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga (PPN), agar memberhentikan beroperasinya kapal pukat harimau (trawl),” kata Zalukhu.
Penulis : Jasman Julius
Editor : Muchlis