Bencana itu menyebabkan ratusan korban meninggal, puluhan ribu warga terdampak, dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi.
Sejumlah pihak menilai, faktor cuaca ekstrem dan dampak siklon tropis bukan satu-satunya pemicu bencana, tetapi juga berkaitan dengan menurunnya kualitas tutupan hutan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut menyebut, kerusakan kawasan hutan terjadi akibat aktivitas perusahaan ekstraktif dalam dua dekade terakhir.
Menurut WALHI, hilangnya hutan sebagai daerah tangkapan hujan memperburuk risiko banjir dan longsor di berbagai wilayah.
Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit serta operasi pertambangan disebut memberi tekanan tambahan terhadap ekosistem.
Dilema Ekonomi dan Lingkungan
Sektor sawit di Sumatera Utara memang memberikan kontribusi signifikan bagi ekonomi daerah, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga peningkatan pendapatan daerah.
Namun, perdebatan mengenai keberlanjutan industri ini terus mengemuka, terutama setelah bencana yang memperlihatkan kerentanan tata kelola lahan di berbagai wilayah.
Pemerintah daerah, lembaga lingkungan hidup, dan perusahaan harus memperkuat komitmen pada pengelolaan berkelanjutan, termasuk pemulihan tutupan hutan dan pengawasan terhadap penggunaan lahan.











