Minimnya penerangan di area bencana diyakini menimbulkan efek psikologis yang lebih besar pada perempuan dan anak-anak. Rasa aman mereka menjadi terganggu karena kondisi gelap yang berkepanjangan.
Desakan Tetapkan Bencana Ekologis sebagai Bencana Nasional
Lusty menilai respons pemerintah terhadap krisis ekologis di Sumatera masih jauh dari kata memadai. Dia menegaskan negara harus bertindak cepat untuk mengakui bencana tersebut sebagai bencana nasional, mengingat dampaknya yang luas dan pemulihannya yang tidak bisa teratasi dalam waktu singkat.
“Kami mendesak pemerintah untuk mengakui bahwa bencana berlapis ini tidak bisa dipulihkan hanya satu atau dua bulan. Jangan menyepelekan situasi ini,” tegasnya.
Akademisi UNIMED: Perempuan Menanggung Beban Lebih Berat
Komentar serupa datang dari Sri Lestari Samosir, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (FIS UNIMED). Dia menekankan bahwa perempuan mengalami tekanan lebih besar dari laki-laki, terutama karena harus tetap memenuhi kebutuhan keluarga dalam kondisi terbatas.
“Perempuan harus memasak dan mengasuh anak di tempat yang tidak layak. Situasi ini menambah beban fisik dan psikis mereka,” ujarnya.
Sri menekankan pentingnya pendekatan yang lebih komprehensif dalam penanganan bencana, terutama untuk kelompok perempuan yang rentan terhadap stres dan trauma.
“Kebutuhan emosional dan psikologis mereka harus terpenuhi. Pemerintah harus memberikan bantuan yang holistik, bukan sekadar logistik,” tambahnya.
Seruan Perbaikan Kebijakan Bencana
Peringatan Hari HAM Internasional di Medan ini berakhir dengan seruan kuat terhadap pemerintah untuk memperbaiki standar layanan darurat bagi kelompok rentan, khususnya perempuan.
Para pegiat meminta negara hadir dengan kebijakan yang lebih responsif, mulai dari penyediaan air bersih, sanitasi layak, penerangan memadai, hingga dukungan psikologis.









