Putusan tersebut kemudian ditindaklanjuti Kementerian Lingkungan Hidup dengan mencabut izin lingkungan perusahaan melalui SK Menteri Nomor 888 Tahun 2025.
“Dari putusan MA sebelumnya, sudah jelas izin lingkungan PT DPM dibatalkan. Ini menunjukkan hukum di Indonesia tidak diterapkan secara konsisten,” ujar Nurleli.
Warga Kembali Dihantui Ancaman Tambang
Petani Desa Pandiangan, Susandi Panjaitan, mengaku sempat merasa lega setelah MA membatalkan izin lingkungan PT DPM.
“Namun sekarang mereka kembali mengajukan tambang yang berpotensi mengancam ruang hidup kami,” ujarnya.
Penolakan terhadap PT DPM juga datang dari berbagai elemen, mulai dari masyarakat, LSM, hingga akademisi.
Tambang dengan sistem underground mining tersebut dinilai berada di wilayah rawan bencana, seperti banjir bandang, longsor, hingga gempa bumi.
Wilayah Dairi Rawan Gempa
Direktur Bakumsu, Juniaty Aritonang, menegaskan Kabupaten Dairi dilintasi oleh tiga jalur patahan aktif, yakni Patahan Toru, Patahan Renun, dan Patahan Angkola.
“Dengan kondisi geologis seperti itu, keberadaan tambang, apalagi tambang bawah tanah, berpotensi menimbulkan dampak serius bagi keselamatan warga,” kata Juniaty.
Warga Surati PBB
Saat ini, warga Dairi bersama koalisi masyarakat sipil menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta dilakukan investigasi lingkungan terhadap kontrak karya PT DPM.
“Peran pemerintah Indonesia yang terus mendukung tambang DPM membuat kami tidak punya pilihan lain selain membawa persoalan ini ke PBB,” pungkas Nurleli.












