Ketimpangan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga mengancam motivasi belajar anak-anak. Bagi siswa yang tak mampu membayar, rapor menjadi simbol kegagalan—bukan cermin usaha atau kemampuan mereka.
Dugaan Pemerasan Lewat “Kas Kelas”
Tuduhan tidak berhenti pada les berbayar. Para wali murid juga mengungkap praktik mencurigakan lainnya: adanya “kompetisi sumbangan kas kelas”, di mana siswa yang memberikan uang lebih banyak konon mendapat perlakuan istimewa—baik dalam bentuk pujian di kelas, kepercayaan sebagai ketua kelas, hingga perlindungan dari hukuman.
Akibat tekanan psikologis ini, beberapa anak disebut terpaksa meminta uang tambahan kepada orang tua hanya untuk mempertahankan “status sosial” di dalam kelas—sebuah dinamika yang seharusnya tidak ada di bangku sekolah dasar.
Respons Sekolah dan Dinas Pendidikan
Menanggapi sorotan publik, Kepala SDN Pajeleran 01, Idah Nursidah, segera memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa kegiatan les atau bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh guru tersebut sepenuhnya di luar tanggung jawab institusi sekolah.
“Sekolah tidak pernah menyetujui atau menginisiasi program les berbayar semacam itu. Apa yang dilakukan guru bersangkutan adalah tindakan pribadi dan tidak merepresentasikan kebijakan sekolah,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Rusliandy, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima laporan dan akan segera menindaklanjuti kasus ini.
“Kami berencana memanggil kepala sekolah dan guru yang bersangkutan untuk dimintai klarifikasi lebih lanjut. Kami juga akan mengkaji apakah ada pelanggaran kode etik guru atau bahkan pelanggaran hukum,” kata Rusliandy.
Kasus Ini Lebih dari Sekadar Nilai Rapor
Yang membuat kasus ini begitu menyentuh adalah dampak psikologis dan sosial yang dialami para siswa.
Anak-anak usia 9–10 tahun—usia yang seharusnya penuh rasa ingin tahu dan kegembiraan belajar—justru terjebak dalam sistem yang membedakan mereka berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga.
Ini bukan hanya soal angka di rapor. Ini soal nilai-nilai dasar pendidikan: keadilan, integritas, dan rasa aman.
Ketika guru—figur yang seharusnya menjadi panutan—justru memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi, maka kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan pun ikut terguncang.
Langkah Selanjutnya: Menuntut Transparansi dan Akuntabilitas
Para wali murid kini menuntut transparansi penuh dalam proses investigasi. Mereka meminta agar seluruh nilai rapor ditinjau ulang secara independen, serta agar guru yang terbukti bersalah diberikan sanksi tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami tidak mau ini jadi preseden buruk. Jika dibiarkan, praktik seperti ini bisa menyebar ke sekolah lain. Anak-anak kami berhak atas pendidikan yang jujur dan tidak diskriminatif,” tegas Sinta.
Penutup: Cermin Krisis Etika di Dunia Pendidikan
Kasus SDN Pajeleran 01 Bogor menjadi cerminan nyata dari tantangan etika yang masih menghantui dunia pendidikan kita.
Di tengah upaya pemerintah memperkuat kualitas pendidikan nasional, insiden seperti ini mengingatkan kita bahwa pengawasan, pelatihan guru, dan partisipasi aktif orang tua adalah kunci dalam menjaga integritas proses belajar-mengajar.
Masyarakat kini menantikan langkah konkret dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor—bukan hanya untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi juga mencegah terulangnya praktik serupa di masa depan.






