Dari hasil menjual kelereng, Pardede mendapat uang jajan. Sebagian uang itu dia tabung. Beranjak usia 7 tahun, dia membagi waktu untuk sekolah, berjualan dan belajar agama.
Tumpal Dorianus Pardede hanya menamatkan pendidikan formal sampai tingkat Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar bagi anak-anak pribumi di Balige. Namun, Pardede banyak belajar dari pengalaman di lapangan saat bekerja di perkebunan di Sumatra Timur.
Membangun Pabrik Tekstil
Beranjak dewasa, TD Pardede beralih menjadi pedagang gula merah dan garam di Balige. Kala itu masa pendudukan Jepang, tak jarang dalam menjalankan usahanya dia mendapat perlakuan kasar dari tentara Jepang. Pukulan dan tempeleng dari tentara penjajah turut menghiasi perjalanannya membangun bisnis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Waktu berjalan, kegigihan Pardede membuahkan dengan menguasai hampir seluruh pasar yang ada di Tapanuli dan melampaui dominasi para pedagang Tionghoa kala itu.
Pada masa revolusi kemerdekaan Tumpal Dorianus Pardede ikut berjuang sebagai perwira dagang. Dia bertugas di bagian perbekalan dan logistik. Hasil penjualan beras yang dia bawa dari Tapanuli ke Pekan Baru disisihkan untuk biaya perjuangan dan memberi makan pasukan.
Di tahun 1949 Pardede berhenti dari dinas ketentaraan dan kembali ke dunia bisnis. Namun, saat itu Pardede menyaksikan penderitaan masyarakat. Banyak masyarakat hanya berkaus kutang atau singlet. Dari kondisi ini lah TD Pardede mendapat ide untuk membangun pabrik tekstil khususnya kaus singlet.
Editor : Muchlis
Sumber Berita : CNBC, Historia
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya