1. Hina Etnis Sunda
Pada siaran langsung YouTube tanggal 27 Juli 2025, Bigmo menyebut orang Sunda “aneh” dan menilai mereka licik, dua muka, serta baperan.
“Gua belum nemu cewek Sunda yang green flag. Orang Sunda deh yang general,” ujarnya.
Pernyataan ini viral di media sosial, memicu debat panas, dan banyak pihak menilai komentarnya mengandung bias stereotip yang berpotensi memecah belah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
2. Hina Kota Surabaya
Pada 17 Mei 2025, Bigmo kembali menjadi sorotan setelah video di TikTok memperlihatkan dirinya menyebut Surabaya sebagai kota ‘ter-L’ (merujuk pada kata “loser”). Ia mengkritik lalu lintas, kualitas jaringan internet, hingga meremehkan popularitas tokoh publik asal kota tersebut.
Komentar ini memicu kemarahan warga Surabaya dan mendapat tanggapan tegas dari Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang menyebut ucapan Bigmo sebagai bentuk pelecehan terhadap martabat kota.
Pengakuan Soal Kasus Korupsi Ayahnya
Dalam sebuah kolaborasi konten bersama komedian dan podcaster ternama Pandji Pragiwaksono, Muhammad Jannah alias Bigmo membuat pengakuan mengejutkan yang sontak menjadi sorotan publik.
Ia secara terbuka mengungkap bahwa sang ayah, Muhammad Nashihan, pernah terjerat kasus korupsi yang cukup besar.
Berdasarkan data resmi dari Diskominfo Batam, Nashihan merupakan terpidana korupsi dengan nilai kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 4,8 miliar.
Momen pengakuan ini terjadi ketika Pandji menanyakan latar belakang keluarga Bigmo, termasuk bagaimana perjalanan hidupnya hingga bisa menjadi figur publik di dunia digital.
Awalnya, pembicaraan mengalir santai, namun kemudian Bigmo dengan nada tenang menyebut bahwa ayahnya pernah bermasalah dengan hukum.
Ia tidak menutup-nutupi fakta tersebut, meskipun secara jelas enggan masuk ke detail kronologi atau modus kasus yang menjerat sang ayah.
Pandji sempat mencoba menggali lebih dalam, namun Bigmo memilih mengalihkan pembahasan.
Sikap ini kemudian menimbulkan beragam persepsi di kalangan warganet. Sebagian menilai langkah Bigmo sebagai bentuk penghormatan terhadap privasi keluarga, terutama mengingat kasus tersebut telah berlalu dan memiliki konsekuensi hukum yang sudah dijalani.
Namun, tidak sedikit pula yang menganggap hal tersebut sebagai strategi komunikasi—menyebut fakta sensasional untuk menarik perhatian publik, tetapi sengaja meninggalkan “ruang kosong” yang memancing rasa penasaran audiens.
Serangkaian kontroversi ini membuat reputasi Bigmo berada di ujung tanduk. Sebagian warganet menganggapnya tidak peka dan kurang empati, sementara sebagian lainnya menilai gaya komunikasinya memang sengaja provokatif untuk menarik perhatian.
Tagar boikot mulai bermunculan, dan beberapa influencer ikut mengkritik gaya bicara Bigmo yang dianggap menyerang identitas dan martabat orang lain.
Kasus ini menegaskan bahwa di era media sosial, kata-kata yang diucapkan di ruang publik memiliki konsekuensi langsung. Kreator konten tidak hanya bersaing untuk mendapatkan penonton, tetapi juga menghadapi tuntutan publik untuk menjaga etika dan menghormati keberagaman.
Batas tipis antara konten menghibur dan menyerang martabat orang lain harus dipahami secara mendalam, terutama ketika setiap pernyataan dapat disebarkan jutaan kali dalam hitungan menit.
Pelajaran dari Kontroversi Bigmo dan Resbobb
Kontroversi ini menjadi pelajaran penting bahwa popularitas di dunia digital harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Kreator konten perlu memahami bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti bebas dari dampak hukum dan sosial.
Kasus Bigmo dan Resbobb juga membuktikan bahwa publik semakin kritis dalam menilai perilaku figur publik, dan sekali reputasi rusak, memulihkannya akan sangat sulit. (*)
Halaman : 1 2