Namun, karena pendekatannya yang tidak lazim, serta kegiatan eksplorasi wilayah sensitif, junta Myanmar menganggap kehadirannya sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional mereka.
Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI, Judha Nugraha, telah dihubungi oleh pihak DPR untuk segera menangani kasus ini. Upaya diplomatik sedang diupayakan dengan dua jalur:
1. Amnesti dari Junta Myanmar
Pemerintah berharap bisa melakukan pendekatan kemanusiaan dan diplomatik untuk meminta pengampunan terhadap WNI tersebut, jika memang terbukti tidak bersalah dan tidak memiliki afiliasi politik dengan pemberontak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
2. Deportasi melalui Jalur Diplomasi
Jika pendekatan amnesti tidak berhasil, maka jalur deportasi menjadi alternatif, agar yang bersangkutan segera dipulangkan ke Indonesia tanpa harus menjalani proses hukum militer di Myanmar, yang dikenal kejam dan tidak transparan.
Sayangnya, hingga kini identitas resmi WNI yang ditahan belum diumumkan secara publik oleh pemerintah, meskipun spekulasi semakin kuat bahwa itu adalah Arnold Putra.
Menteri Luar Negeri Sugiono menyampaikan peringatan keras kepada seluruh WNI untuk tidak sembarangan bepergian ke negara-negara yang sedang mengalami konflik politik atau krisis militer, seperti Myanmar, Sudan, Yaman, dan lain-lain.
Sugiono juga menyarankan agar WNI yang hendak bepergian ke luar negeri, terlebih ke wilayah rawan, untuk:
– Mengecek status keamanan melalui portal Safe Travel
Situs ini disediakan pemerintah untuk memberikan informasi terkini tentang kondisi keamanan di seluruh negara.
– Melakukan Lapor Diri melalui aplikasi Peduli WNI
Dengan melapor diri, pemerintah dapat dengan cepat mengetahui keberadaan WNI jika terjadi kondisi darurat, termasuk penahanan atau hilang kontak.
Kasus Arnold Putra membuka diskusi baru mengenai peran dan batasan seorang influencer di era globalisasi yang sensitif secara politik.
Di satu sisi, konten kreator seperti Arnold ingin menyuarakan budaya dan eksplorasi dari sudut pandang personal, namun di sisi lain, mereka juga harus memahami konteks politik, hukum, dan budaya negara yang mereka kunjungi.
Kebebasan berekspresi di media sosial bukanlah jaminan kebebasan di dunia nyata. Apalagi ketika berada di negara dengan sistem militer represif seperti Myanmar, setiap tindakan dan unggahan bisa ditafsirkan sebagai propaganda atau subversi.
Kisah Arnold Putra—jika benar memang dia yang ditahan—harus menjadi peringatan penting bagi seluruh WNI dan konten kreator di mana pun.
Eksplorasi, seni, dan dokumentasi adalah hal yang wajar dan bahkan patut diapresiasi. Namun, ketika hal itu dilakukan tanpa memahami sensitivitas negara tujuan, maka bukan apresiasi yang didapat, melainkan bahaya. (*)
Halaman : 1 2