“Pengadilan Militer I-02 Medan melanggengkan budaya impunitas yang melindungi institusinya. Prinsip fair trial dan imparsialitas diabaikan, sementara korban dikesampingkan,” tegas Armalia.
Hak Asasi yang Dilanggar
Penyerangan oleh prajurit Yon Armed 2/KS dinilai melanggar hak atas rasa aman masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan, tindak kekerasan ini juga bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI serta UU No. 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
“Seorang prajurit yang menyebabkan korban jiwa seharusnya dihukum maksimal dan diberhentikan. Bukan malah diberi vonis ringan yang melecehkan rasa keadilan publik,” tulis KontraS dalam dokumen Amicus Curiae.
Kritik terhadap Oditur Militer
KontraS juga menyoroti sikap Oditur dalam persidangan yang dianggap tidak objektif. Alih-alih menggali fakta penyerangan, pertanyaan yang diajukan justru mengarah pada isu perdamaian, tali asih, hingga mengaitkan sosok Dewa Sembiring sebagai pemicu keributan.
“Pendekatan semacam ini berpotensi mengaburkan substansi tragedi dan melemahkan posisi korban. Pengadilan seharusnya fokus pada fakta hukum, bukan narasi pengalihan,” kata LBH Medan yang turut bergabung dalam Amicus Curiae.
Kasus Sibiru-biru menjadi sorotan publik karena dianggap sebagai potret rapuhnya akuntabilitas hukum militer di Indonesia. Putusan ringan tak hanya mencederai rasa keadilan warga, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi TNI.
Kini, semua mata tertuju pada majelis hakim Pengadilan Militer I-02 Medan. Akankah Amicus Curiae ini mampu menggugah kesadaran hukum dan menghentikan budaya impunitas di tubuh militer?











