Scroll untuk baca artikel
Hukum & Kriminal

Kasus Neni Nuraeni: Ibu Menyusui Ditahan di Karawang, Bayi Sakit Karena Tak Dapat ASI

×

Kasus Neni Nuraeni: Ibu Menyusui Ditahan di Karawang, Bayi Sakit Karena Tak Dapat ASI

Sebarkan artikel ini
Neni Nuraeni
Momen Haru Neni Nuraeni (37) Ibu menyusui di karawang saat kembali memeluk sang anak. Foto: Dok. Istimewa (Kumparan)

Hakim Akhirnya Kabulkan Pengalihan Penahanan

Desakan publik dan upaya hukum dari pihak keluarga akhirnya membuahkan hasil. Pada 30 Oktober 2025, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karawang yang diketuai oleh Nely Andriani memutuskan mengalihkan status penahanan Neni menjadi tahanan rumah.

Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan surat permohonan dari keluarga Neni yang telah diajukan sejak 23 Oktober 2025, serta fakta bahwa bayi Neni sedang dalam kondisi sakit dan membutuhkan perawatan ibunya.

Dengan keputusan ini, Neni diperbolehkan kembali ke rumah untuk merawat bayinya, namun tetap diwajibkan hadir dalam setiap agenda sidang. Saat mendengar putusan tersebut, Neni menangis haru dan bersujud syukur di ruang sidang.

“Ini kemenangan kecil bagi kemanusiaan. Namun perjuangan belum selesai,” kata kuasa hukumnya.

Penyesalan Sang Suami: Luka Batin yang Tak Terbayar

Suami Neni, Denny Darmawan, mengaku menyesal mendalam atas perbuatannya yang tanpa sadar telah membuat istrinya menderita.

“Saya sangat menyesal. Saya tidak tahu kalau akan sejauh ini. Anak-anak selalu bertanya di mana ibu mereka. Saya hanya bisa menjawab, ibu sedang bekerja,” tuturnya lirih.

Tiga anaknya kini mengalami trauma psikologis, terutama karena kehilangan figur ibu selama beberapa hari penahanan. Bagi Denny, kasus ini menjadi tamparan keras tentang pentingnya tanggung jawab dan kejujuran dalam keluarga.

Kuasa hukum Neni menyoroti kesalahan penerapan pasal oleh pihak penegak hukum. Dalam kasus ini, jaksa menjerat Neni dengan Pasal 36 UU Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.

Padahal menurut prinsip hukum, UU Fidusia bersifat lex specialis, yang artinya memiliki kekhususan dan tidak dapat dicampurkan dengan pasal umum dalam KUHP.

Baca Juga  Polisi Ungkap Kasus Pencabulan Remaja di Simalungun, Ternyata Pelaku Orang Dekat!

“Menerapkan dua pasal secara bersamaan adalah bentuk kekeliruan hukum. Ini berpotensi mencederai asas keadilan dan menimbulkan bias dalam proses penegakan hukum,” jelas Syarif.

Kasus Neni menunjukkan bahwa banyak masyarakat tidak memahami konsekuensi hukum dari perjanjian fidusia, di mana nama yang tercatat sebagai peminjam dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, meskipun bukan pihak yang melakukan pelanggaran.

Refleksi Sosial: Ketika Hukum Kehilangan Nurani

Kasus Neni Nuraeni bukan hanya sekadar proses hukum, tetapi juga refleksi tentang nurani bangsa. Di tengah upaya penegakan hukum, aspek kemanusiaan dan hak anak sering kali diabaikan.

Seorang ibu menyusui yang dipisahkan dari bayinya jelas melanggar norma sosial, moral, dan konstitusional. Keputusan awal untuk menahan Neni menunjukkan minimnya kepekaan sosial aparat penegak hukum terhadap kondisi perempuan dan anak.

Namun keputusan hakim untuk mengalihkan penahanan menjadi tahanan rumah patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa suara publik dan nurani kemanusiaan masih bisa berperan dalam proses peradilan.

Kasus Neni Nuraeni memberikan banyak pelajaran berharga bagi bangsa ini. Hukum memang harus ditegakkan, tetapi keadilan sejati hanya bisa tercapai jika hukum dijalankan dengan hati nurani.

Kita berharap kasus ini menjadi momentum bagi semua lembaga hukum di Indonesia — mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim — untuk lebih peka terhadap kondisi sosial terdakwa, terutama ibu dan anak dalam situasi rentan.

Hukum bukan hanya alat penghukuman, melainkan juga instrumen perlindungan manusia. Sebab tanpa kemanusiaan, hukum kehilangan maknanya. (kum)