Menurut Irvan, kasus ini hanyalah satu dari sederet problem dalam penanganan pelanggaran personel TNI.
“Sebelumnya kita juga mencatat kasus MAF dan insiden penganiayaan warga di Sibiru-biru yang berakhir dengan hukuman ringan,” tegasnya.
Irvan menilai ada pola berulang di Pengadilan Militer I-02 Medan, yakni pelaku dihukum ringan, korban tidak memperoleh keadilan, dan publik sulit memantau proses peradilan militer karena minim transparansi.
Tuntutan Oditur Dinilai Janggal
Kecurigaan lain muncul pada tuntutan Oditur Militer Letkol M. Tecki Waskito, yang hanya menuntut terdakwa 1 tahun penjara. Padahal, menurut LBH, aksi terdakwa seharusnya dijerat dengan UU Perlindungan Anak yang mengancam pelaku hingga 15 tahun penjara.
“Tuntutan ini jauh dari rasa keadilan, terlebih bagi korban anak. Aparat penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan melindungi warga, bukan justru seolah mengabaikan hak korban,” jelas Irvan.
Kecaman Publik Menguat
Kasus ini memicu diskusi luas di ruang publik. Banyak yang menilai peradilan militer terlalu lembut terhadap anggotanya sendiri, sehingga memicu hilangnya kepercayaan masyarakat.
Hingga berita ini diturunkan, keluarga korban masih menunggu tindak lanjut dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.












