“Sehebat apa pun perusahaan kami, sebersih apa pun niat kami, sulit menjalankan pekerjaan jika tidak mengikuti kebiasaan yang sudah jadi rahasia umum. Saya tidak memperkaya diri, hanya memikirkan nasib karyawan agar tetap bekerja,” ujar dia.
Tuntutan Jaksa dan Aliran Suap
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Akhirun 3 tahun penjara, sedangkan Reyhan dituntut 2 tahun 6 bulan. Keduanya didakwa melakukan suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
JPU menyebut bukti pembayaran suap mencapai Rp 4,5 miliar yang diduga mengalir ke sejumlah pejabat PUPR Sumut, termasuk Kepala Dinas Topan Ginting.
Kasus Menyeret Pejabat PUPR
Penanganan perkara ini telah melibatkan lima tersangka lain, antara lain Topan Ginting (Kepala Dinas PUPR Sumut), Rasuli Efendi Siregar (Kepala UPTD Gunung Tua), Heliyanto (Satker PJN Wilayah I Sumut), serta pihak-pihak swasta terkait.
KPK berdasarkan penyidikan menyatakan tindak pidana korupsi itu bermula dari kegiatan survei bersama pada 22 April 2025 di lokasi proyek jalan Sipiongot–batas Labusel dan Hutaimbaru–Sipiongot, aktivitas yang dilarang karena calon kontraktor seharusnya tidak berhubungan langsung dengan pejabat pengadaan.
Dalam proyek senilai Rp 231,8 miliar, KPK menduga Topan menerima uang muka Rp 2 miliar dari komisi yang diperkirakan mencapai 4–5 persen dari nilai proyek, atau sekitar Rp 9 – 11 miliar.
Proses Hukum Berlanjut
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan kini memegang pledoi terdakwa, tuntutan JPU, serta bukti-bukti yang diajukan. Keputusan putusan akan dijatuhkan setelah majelis menimbang seluruh fakta persidangan.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan pejabat pemerintah daerah dan kontraktor besar, sekaligus menunjukkan tantangan penegakan aturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan daerah.












