Dia mengklaim jalur tersebut membutuhkan dana Rp 600 juta, dengan alasan kondisi kesehatan anak Utema dinilai menghambat kelulusan jalur reguler.
Uang Muka Rp 300 Juta Mengalir, Sisanya Menyusul
Pada 20 April 2024, setelah Sinema memperoleh nomor ujian seleksi, Amori menghubungi Utema dan menyebut proses “pengamanan nomor” telah berjalan. Utema kemudian mentransfer uang muka Rp 300 juta.
Dari jumlah itu, Amori mengaku memberikan Rp 150 juta kepada seseorang bernama Budi Rada (berkas terpisah) yang diduga menjadi perantara.
Ketika Sinema dinyatakan tidak lulus tes kesehatan pertama, Amori tetap meyakinkan Utema bahwa hal itu bagian dari proses dan meminta pelunasan sisanya. Pada 21 Mei 2024, Utema menambah Rp 300 juta, sehingga total kerugian mencapai Rp 600 juta.
Janji Palsu: Dari “Nomor Aman” hingga Suruhan Pangkas Botak
Meski sudah menyerahkan uang ratusan juta, Sinema tak kunjung dinyatakan lulus seleksi.
Amori terus memberi janji palsu: mulai dari memastikan nama Sinema berada di jalur khusus, menyebut pengumuman akan keluar 6 Juni 2024, hingga mengatakan panggilan pendidikan dimulai 20 Juli 2024.
Dia bahkan menyuruh Sinema pangkas rambut botak, membeli perlengkapan pendidikan, dan menjalani karantina sebulan pada Agustus 2024 dengan biaya tambahan Rp 6 juta.
Namun setelah seluruh rangkaian itu, tak ada satu pun panggilan pendidikan yang diterima.
Merasa ditipu, Utema akhirnya melapor ke polisi. Penyidikan menetapkan Amori sebagai tersangka dan proses hukum pun bergulir hingga vonis jatuh pada Desember 2025.
Kasus “Jalur Khusus” yang Kembali Jadi Sorotan
Kasus ini menambah daftar panjang penipuan berkedok “jalur khusus” masuk Polri yang kerap memakan korban orang tua yang ingin anaknya lolos seleksi.
Polri sendiri menegaskan bahwa proses penerimaan anggota menganut prinsip Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis (BETAH) tanpa pungutan biaya.
Dengan vonis 34 bulan penjara, nasib hukum Amori kini menunggu keputusan final apakah JPU atau penasihat hukumnya mengajukan banding atau menerima putusan.











