Topikseru.com – Kue Bika Bakar Amak Nurmalis yang legendaris di Jalan Amaliun, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara, menjadi bukti nyata keteguhan usaha kuliner tradisional di tengah badai inflasi dan kenaikan harga bahan pangan.
Meski zaman telah berubah dan persaingan semakin ketat, aroma khas bika bakar dari tungku arang di kedai ini tetap menggoda siapa pun yang melintas.
Berdiri lebih dari 30 tahun yang lalu, Bika Bakar Amak Nurmalis menjadi salah satu ikon jajanan tradisional khas Sumatera Barat yang berhasil merebut hati masyarakat Medan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Cita rasa manis legit, berpadu dengan aroma harum kelapa muda dan renyahnya bagian luar yang dibakar, menjadikannya primadona di masanya.
Didirikan oleh Amak Nurmalis, seorang perantau Minang yang gigih, usaha ini bermula dari resep keluarga yang diwariskan turun-temurun. Kini, estafet usaha tersebut diteruskan oleh sang putri, Ibu Upik, yang tetap menjaga keaslian rasa meski harus berhadapan dengan tantangan ekonomi yang berat.
Resep Tradisional yang Tetap Dijaga
Keistimewaan bika bakar Amak Nurmalis terletak pada bahan-bahan alaminya. Adonan terbuat dari tepung beras, parutan kelapa muda, gula pasir, dan sedikit fermentasi alami untuk menghasilkan tekstur berserat lembut. Proses pembakaran masih menggunakan arang kayu, yang memberikan aroma smoky khas dan rasa gurih yang tak bisa digantikan oven modern.
Menurut Ibu Upik, menjaga resep asli adalah kunci agar pelanggan lama tetap setia.
“Kami tidak ingin mengubah rasa, walau bahan makin mahal. Cuma ukuran yang kami kecilkan sedikit biar tetap bisa dijual dengan harga terjangkau,” ujarnya dengan nada lirih.
Seperti banyak pelaku UMKM lainnya, kenaikan harga bahan baku menjadi tantangan terbesar. Harga kelapa muda, gula, dan tepung beras terus melonjak dalam dua tahun terakhir. Akibatnya, margin keuntungan semakin menipis.
“Kalau dinaikkan harga, pelanggan bisa kabur. Tapi kalau dikecilkan ukuran, nanti dikira menipu. Serba salah,” kata Upik, menggambarkan dilema pedagang kecil.
Kini, ukuran bika bakar terpaksa diperkecil, sementara produksi pun dikurangi dari 7–10 kilogram per hari menjadi hanya 5 kilogram. Bahkan, tak jarang sebagian bika tak laku terjual dan harus dibagikan ke tetangga agar tidak terbuang sia-sia.
Dampak Penurunan Daya Beli Konsumen
Kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi turut memengaruhi daya beli. Banyak pelanggan setia kini hanya membeli separuh dari biasanya. Dalam dua bulan terakhir, penjualan menurun drastis hingga 40%.
“Kalau dulu pagi udah ramai, sekarang kadang sampai sore baru habis setengah,” ujar Upik sambil memandangi loyang bika yang masih menumpuk di meja.
Penurunan penjualan ini juga berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Beberapa pekerja yang dulu membantu Amak Nurmalis kini harus dirumahkan karena biaya produksi tak lagi sebanding dengan hasil penjualan.
Meski kondisi sulit, Ibu Upik tidak menyerah begitu saja. Ia mencoba diversifikasi usaha dengan membuka warung kopi kecil di lokasi yang sama. Kombinasi bika bakar hangat dengan segelas kopi robusta dari dataran tinggi Mandailing menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan yang ingin menikmati suasana sore yang santai.
“Kami ingin pelanggan tetap datang, walau cuma ngopi. Kadang dari situ mereka juga beli bika untuk dibawa pulang,” katanya.
Selain itu, promosi lewat media sosial juga mulai dilakukan, meski dengan cara sederhana. Melalui WhatsApp dan Facebook, Ibu Upik kerap memposting foto bika bakar yang baru matang, berharap bisa menarik pembeli dari lingkungan sekitar.
Penulis : Agus Sinaga
Editor : Ari Tanjung
Halaman : 1 2 Selanjutnya