Dalam kalender ini, 1 Suro ditetapkan sebagai hari pertama dalam tahun baru Jawa dan diselaraskan dengan 1 Muharram, sebagai bentuk Islamisasi budaya lokal tanpa menghapus nilai-nilai tradisional.
Mengutip dari Tirto.id, penyesuaian kalender ini juga dilakukan oleh Sunan Giri II, seorang tokoh penting dalam Kerajaan Demak pada sekitar tahun 931 H (Hijriah).
Penyatuan penanggalan ini menjadi dasar penting dalam mengukuhkan identitas Jawa-Islam yang unik dan penuh filosofi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Makna Filosofis dan Spiritual Malam Satu Suro
Malam satu Suro bukan sekadar malam tahun baru, melainkan momen perenungan spiritual yang sangat mendalam.
Bagi masyarakat Jawa, malam ini diyakini sebagai waktu terbaik untuk menyepi, bertafakur, melakukan lelaku, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam praktiknya, banyak orang melakukan tirakat, puasa, zikir, membaca doa, hingga ziarah ke makam leluhur.
Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa dunia metafisik sangat aktif pada malam ini, sehingga manusia perlu menjaga diri dan tidak melakukan aktivitas berlebihan atau pesta pora.
Sultan Agung dan Jumat Legi
Menurut data dari Tirto.id, Sultan Agung juga mengaitkan malam 1 Suro dengan hari Jumat Legi, sebuah kombinasi hari pasaran dalam kalender Jawa yang dianggap sangat keramat.
Setiap Jumat Legi, masyarakat kerajaan melakukan pengajian, ziarah kubur, dan pelaporan pemerintahan daerah. Tradisi ini kemudian menyatu dalam kebudayaan Jawa-Islam dan diwariskan turun-temurun hingga kini.
Jika 1 Suro jatuh pada Jumat Legi, maka masyarakat akan menganggapnya sebagai hari yang sangat suci.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya