Bahkan, terdapat kepercayaan bahwa jika malam 1 Suro digunakan untuk selain kegiatan spiritual, maka orang yang melakukannya bisa terkena kesialan atau malapetaka.
Kepercayaan dan Mitos Seputar Malam Satu Suro
Banyak masyarakat Jawa menganggap malam 1 Suro sebagai pertemuan antara dunia manusia dan dunia gaib. Oleh karena itu, malam ini sering kali diselimuti dengan kesan mistis, bahkan menakutkan.
Tradisi seperti tirakat, semedi, ziarah makam, hingga ritual sesaji sering dijumpai pada malam ini.
Dalam tulisan Zainuddin berjudul “Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa”, disebutkan bahwa banyak masyarakat percaya pada mitos-mitos tertentu yang menyertai malam ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Misalnya, siapa pun yang menyalahgunakan malam ini untuk tujuan selain spiritual, seperti berpesta atau bersenang-senang, diyakini akan mendapatkan kesialan.
Pantangan dan Larangan di Malam Satu Suro
Banyak pantangan yang diyakini masyarakat Jawa pada malam satu Suro. Hal ini dilandasi oleh anggapan bahwa malam ini adalah malam rawan dan penuh energi gaib. Berikut ini adalah beberapa larangan yang umum dipercaya:
1. Larangan Keluar Rumah
Masyarakat percaya bahwa malam satu Suro bukan waktu yang baik untuk berada di luar rumah. Orang dengan weton tertentu dianggap bisa mengalami nasib buruk jika keluar rumah, karena dipercaya bahwa makhluk halus atau dukun ilmu hitam sedang mencari tumbal.
2. Tidak Boleh Berisik atau Bicara Keras
Ritual tapa bisu dilakukan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk puasa bicara. Ritual ini biasanya dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta, yang berjalan mengelilingi benteng (mubeng beteng) tanpa berbicara sepatah kata pun. Bahkan, makan, minum, dan merokok pun dilarang saat menjalani ritual ini.
3. Tidak Menikah atau Pindah Rumah
Menikah atau pindah rumah pada malam 1 Suro diyakini membawa kesialan, meskipun tidak ada larangan dalam Islam. Masyarakat lebih memilih waktu lain yang dianggap lebih aman dan bersih dari gangguan gaib.
Tradisi dan Ritual Malam Satu Suro di Berbagai Daerah
1. Mubeng Beteng (Yogyakarta)
Ritual ini adalah tirakat berjalan kaki mengelilingi benteng keraton, dimulai dari alun-alun utara, menyusuri sisi barat, selatan, timur, hingga kembali ke utara. Para peserta tidak mengenakan alas kaki dan melafalkan doa sepanjang perjalanan. Ini dilakukan sebagai bentuk pengendalian diri dan penghormatan terhadap alam semesta.
2. Kirab Kebo Bule (Surakarta)
Mengutip dari Regional.Kontan.co.id, di Solo terdapat tradisi kirab Kebo Bule Kyai Slamet, seekor kerbau putih yang dianggap sebagai hewan keramat.
Kebo bule adalah hewan kesayangan Paku Buwono II, yang dipercaya membawa keselamatan jika disentuh saat kirab malam satu Suro.
3. Jamasan Pusaka
Keraton Yogyakarta dan Surakarta juga melakukan prosesi jamasan pusaka, yaitu pembersihan keris, tombak, gamelan, kereta kencana, hingga manuskrip kuno.
Menurut catatan Madhan Anis, kegiatan ini tidak hanya bersifat teknis tetapi juga spiritual, untuk menyambut tahun baru dengan hati dan benda yang bersih.
Peran Budaya dan Agama dalam Tradisi Malam Satu Suro
Tradisi malam 1 Suro mencerminkan sinkretisme budaya Jawa, di mana nilai-nilai keislaman, kejawen, dan spiritualitas berbaur secara harmonis. Malam ini adalah momen rekonsiliasi batin, evaluasi diri, dan memohon berkah untuk tahun yang akan datang.
Masyarakat Jawa memanfaatkan momen ini bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk mengingat kematian, kehidupan akhirat, dan pentingnya kesalehan spiritual.
Malam 1 Suro merupakan warisan budaya spiritual yang sangat kaya dan bermakna dalam. Dari sejarah Sultan Agung hingga tradisi masyarakat modern, malam ini tetap dijaga sebagai malam suci yang penuh dengan pantangan dan kebajikan.
Melalui berbagai ritual seperti mubeng beteng, jamasan pusaka, kirab kebo bule, hingga tirakat pribadi, masyarakat Jawa menjaga nilai-nilai spiritual dan kebudayaan lokal tetap hidup.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya