Bandung, Jawa Barat – 342 Siswa Jadi Korban
Selasa, 18 Maret 2025
Kasus besar kembali mencoreng program MBG di SMP Negeri 35 Bandung. Sebanyak 342 siswa dari 20 kelas mengalami keracunan massal.
-
Gejala: diare, muntah, demam, pusing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
-
Durasi muncul gejala: antara 30 menit hingga 8 jam setelah makan.
Tim Dinas Kesehatan segera menurunkan investigasi, namun kasus ini semakin memperburuk citra MBG di mata publik.
Nusa Tenggara Timur – Trauma Massal
Juli 2025
Puluhan siswa di NTT mengalami keracunan setelah menyantap makanan MBG. Kasus ini membuat banyak orang tua trauma dan mendesak agar program MBG dihentikan.
Kepala SMKN 2 Tambolaka, Kathrina Manulangga, bahkan menyarankan agar MBG dialihkan ke program lain yang lebih aman dan berkelanjutan.
Sukoharjo, Jawa Tengah – 40 Siswa Dilarikan ke Puskesmas
Kamis, 16 Januari 2025
Sebanyak 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo keracunan setelah menyantap ayam tepung dari MBG.
Gejala berupa mual dan muntah membuat sebagian besar siswa harus mendapat perawatan darurat. Meski tidak ada korban jiwa, kasus ini kembali menegaskan rapuhnya pengawasan.
Nganjuk, Jawa Timur – Uji Coba MBG Berakhir Keracunan
Sabtu, 19 Oktober 2024
Ironisnya, bahkan dalam tahap uji coba, MBG sudah memakan korban. Di SDN Banaran, Kecamatan Kertosono, sejumlah siswa mengalami mual dan diare hebat.
Kasus ini menandakan bahwa tanpa kontrol ketat, uji coba pun tetap berisiko fatal.
Analisis Penyebab Utama Keracunan Massal MBG
Berdasarkan pola kasus keracunan MBG di berbagai daerah, dapat disimpulkan bahwa permasalahan tidak terjadi secara kebetulan, melainkan bersifat sistemik. Ada sejumlah faktor utama yang menjadi penyebab berulang, yaitu:
1. Penyimpanan yang Buruk
Salah satu penyebab dominan adalah manajemen penyimpanan makanan yang tidak tepat. Dalam banyak kasus, makanan dimasak pada pagi hari namun baru dikonsumsi beberapa jam kemudian. Selama menunggu distribusi, makanan disimpan dalam kondisi tidak higienis, sering kali hanya menggunakan wadah plastik atau kardus tanpa pendingin.
-
Contoh: Kasus di Karanganyar, di mana kuah soto basi karena dikemas dalam keadaan panas lalu dibiarkan terlalu lama sebelum dibagikan.
-
Risiko: Pertumbuhan bakteri patogen meningkat drastis dalam kondisi suhu ruang, apalagi di iklim tropis Indonesia yang lembap dan panas.
2. Kualitas Bahan Tidak Layak
Bahan pangan yang digunakan tidak selalu segar, bahkan dalam beberapa kasus ditemukan bahan kadaluarsa atau rusak tetap dipaksakan untuk disajikan demi menekan biaya.
-
Contoh: Insiden di Bombana, Sulawesi Tenggara, yang melibatkan ayam busuk sebagai bahan utama menu.
-
Dampak: Konsumsi bahan tidak layak dapat menyebabkan keracunan akut yang memicu mual, muntah, diare, bahkan dehidrasi parah pada anak-anak.
Hal ini mengindikasikan adanya celah pengawasan dan potensi praktik korupsi dalam pengadaan bahan pangan MBG.
3. Sanitasi Dapur Minim Standar
Tidak semua penyedia MBG memiliki fasilitas dapur dengan standar higienitas yang baik. Peralatan masak sering kali dipakai berulang tanpa proses sterilisasi, air yang digunakan tidak selalu bersih, dan pekerja dapur kurang memperhatikan kebersihan diri.
-
Contoh: Kasus di Cianjur, di mana hasil laboratorium menemukan bakteri Staphylococcus sp., Escherichia coli, dan Salmonella sp. dalam makanan.
-
Risiko: Kontaminasi bakteri berbahaya bisa menyebabkan infeksi usus, kerusakan organ, hingga risiko jangka panjang pada kesehatan anak.
4. Distribusi Tanpa Pendingin
Sistem distribusi makanan MBG sering kali tidak memperhitungkan faktor suhu. Makanan yang baru matang langsung dikemas panas-panas, lalu dibawa jarak jauh ke sekolah tanpa menggunakan kendaraan berpendingin.
-
Contoh: Beberapa kasus di Jawa Tengah dan Jawa Barat menunjukkan makanan yang tampak normal saat diantar, namun setelah beberapa jam menjadi basi.
-
Dampak: Kondisi ini mempercepat pembusukan, menurunkan kualitas gizi, sekaligus meningkatkan risiko kontaminasi bakteri.
5. Kurangnya Tenaga Ahli Gizi dan Keamanan Pangan
Banyak penyedia MBG lebih fokus pada aspek kuantitas (jumlah makanan yang dibagikan) ketimbang kualitas gizi dan keamanan. Hal ini terjadi karena minimnya keterlibatan ahli gizi, ahli keamanan pangan, dan tenaga profesional dalam perencanaan menu maupun pengawasan produksi.
-
Contoh: Kasus di Garut, di mana menu sehat seperti nasi, ayam, tempe, lalapan, dan stroberi tetap memicu keracunan, mengindikasikan kegagalan dalam pengawasan higienitas, bukan komposisi gizi.
-
Risiko: Tanpa pengawasan ahli, makanan bergizi sekalipun bisa menjadi berbahaya bila cara penyajian, penyimpanan, dan distribusinya salah.
Kesimpulan Analisis
Lima faktor di atas saling terkait dan memperlihatkan lemahnya manajemen MBG secara keseluruhan. Mulai dari hulu (pemilihan bahan baku), proses (memasak dan penyimpanan), hingga hilir (distribusi ke sekolah), setiap tahap rawan memicu keracunan jika tidak diawasi secara profesional.
Dengan kata lain, masalah MBG bukan hanya soal insiden teknis, melainkan sistem yang gagal memastikan standar keamanan pangan secara nasional.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ide baik dengan tujuan mulia, namun tanpa pengawasan yang ketat, kontrol kualitas bahan pangan, serta distribusi yang aman, program ini justru menjadi ancaman bagi kesehatan anak-anak bangsa.
Rentetan kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah membuktikan bahwa evaluasi menyeluruh sangat mendesak dilakukan. Jika tidak segera diperbaiki, kepercayaan masyarakat akan hilang dan program yang seharusnya menyelamatkan justru berpotensi membahayakan generasi muda Indonesia. (*)
Halaman : 1 2