Karanganyar, Jawa Tengah – Soto Basi Picu Keracunan (14 Juli 2025)
Kasus unik terjadi di SD Wonorejo. Kepala sekolah dan dua siswa ikut keracunan setelah menyantap soto basi. Penyebabnya, kuah dikemas dalam keadaan panas lalu disimpan lama hingga basi. Hal ini memperlihatkan minimnya pemahaman penyedia makanan tentang manajemen distribusi massal.
Tasikmalaya, Jawa Barat – Puluhan Siswa Alami Diare Berat (1 Mei 2025)
Sebanyak 24 siswa di Rajapolah mengalami keracunan setelah memakan sayur labu. Delapan di antaranya dirawat inap, satu anak harus dirujuk ke rumah sakit.
Bandung, Jawa Barat – 342 Siswa Keracunan Massal (18 Maret 2025)
Di SMP Negeri 35 Bandung, 342 siswa dari 20 kelas keracunan dengan gejala diare, muntah, demam, dan pusing. Gejala muncul 30 menit hingga 8 jam setelah makan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nusa Tenggara Timur – Trauma Massal (Juli 2025)
Kasus di NTT membuat orang tua trauma dan menolak anak-anak mereka menerima makanan MBG. Kepala SMKN 2 Tambolaka bahkan menyarankan program dialihkan ke bentuk lain yang lebih aman.
Sukoharjo, Jawa Tengah – 40 Siswa Dilarikan ke Puskesmas (16 Januari 2025)
Sebanyak 40 siswa SDN Dukuh 03 keracunan akibat ayam tepung MBG. Meski tidak ada korban jiwa, kasus ini kembali menegaskan rapuhnya pengawasan.
Nganjuk, Jawa Timur – Uji Coba Berujung Keracunan (19 Oktober 2024)
Ironis, bahkan dalam tahap uji coba, program MBG sudah memakan korban. Siswa SDN Banaran, Kertosono mengalami mual dan diare berat setelah mencicipi makanan MBG.
Akar Masalah Program MBG: Dari Dapur Hingga Kebijakan
Berdasarkan analisis berbagai kasus, ada sejumlah persoalan mendasar yang menyebabkan MBG berulang kali gagal:
-
Higienitas Dapur Buruk → Banyak penyedia jasa makanan tidak memiliki standar sanitasi layak. Hal ini membuka jalan masuknya bakteri berbahaya.
-
Rantai Pasok Tidak Terjamin → Bahan makanan basi atau busuk tetap digunakan karena minimnya kontrol kualitas.
-
Distribusi Makanan Salah → Makanan dikemas panas, disimpan terlalu lama, atau tidak sesuai prosedur sehingga cepat basi.
-
Pengawasan Lemah → Tidak semua penyedia memiliki sertifikasi keamanan pangan. Proses pengawasan pemerintah cenderung formalitas.
-
Minimnya Evaluasi Program → Meski kasus sudah berulang, pemerintah tetap memaksakan program berjalan dengan dalih pencapaian target politik.
Gelombang kritik dari JPPI, KPAI, hingga masyarakat luas semakin kuat. Tuntutan yang disuarakan jelas: hentikan MBG sementara waktu dan lakukan evaluasi menyeluruh. Pemerintah harus memastikan setiap aspek, mulai dari pengadaan bahan makanan, proses pengolahan, distribusi, hingga penanganan darurat benar-benar memiliki standar ketat.
Tanpa langkah tegas, program yang seharusnya menjadi solusi justru terus menimbulkan korban baru dan memperparah trauma masyarakat terhadap program pemerintah.
Kasus keracunan MBG adalah peringatan keras bagi pemerintah. Anak-anak sekolah bukanlah kelinci percobaan. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen melindungi generasi emas, evaluasi total adalah harga mati.
Program MBG baru bisa berjalan jika ada transparansi, standar kualitas ketat, serta pengawasan distribusi yang profesional. Hingga itu terwujud, penghentian program adalah langkah paling logis demi keselamatan anak bangsa. (*)
Halaman : 1 2