Ternyata terlihat banyak area yang dulu hutan, sekarang sudah jadi kebun sawit.
Mungkin bencana ini merupakan ‘balas dendam’ alam pada manusia karena telah merusak hutan dan habitat di dalamnya.”
Kerusakan Ekosistem: Akar dari Bencana?
Pernyataan terakhir tersebut menyentuh isu krusial yang selama ini sering diabaikan: deforestasi dan alih fungsi lahan.
Sejumlah pakar lingkungan menyoroti bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur di kawasan hulu telah mengikis daya serap tanah dan menghilangkan penyangga alami terhadap erosi.
“Hutan bukan sekadar pohon. Ia adalah sistem hidrologi, penyangga tanah, dan rumah bagi keanekaragaman hayati. Ketika hutan digunduli tanpa kontrol, maka bencana seperti ini menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan,” ujar Dr. Farid Rasyid, pakar lingkungan dari Universitas Syiah Kuala, dalam wawancara terpisah.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas tutupan hutan di Aceh menurun signifikan dalam satu dekade terakhir.
Di daerah seperti Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Bireuen — wilayah yang terdampak parah — konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan menjadi tren yang mengkhawatirkan.
Upaya Tanggap Darurat dan Solidaritas Nasional
Sementara itu, pemerintah pusat dan daerah telah mengaktifkan status tanggap darurat.
Tim SAR gabungan, personel TNI/Polri, relawan, dan lembaga kemanusiaan seperti PMI dan ACT dikerahkan ke lokasi terisolir. Namun, tantangan logistik dan cuaca buruk masih menjadi penghambat utama.
“Kami berusaha menjangkau semua titik terdampak. Tapi medan sangat sulit, dan kami masih berusaha memastikan jumlah korban pasti,” kata Kepala BPBD Aceh, Teuku Ahmad Dadek, dalam konferensi pers darurat.
Masyarakat di seluruh Indonesia pun mulai menggalang bantuan. Tagar #PrayForAceh dan #AcehTsunamiKedua menjadi trending di media sosial, mengingatkan kembali pada solidaritas nasional yang pernah muncul usai bencana 2004.
Pesan untuk Masa Depan
Dalam kesedihan yang mendalam, peristiwa ini menawarkan momentum reflektif: apakah kita benar-benar belajar dari masa lalu? Tsunami 2004 mengajarkan pentingnya tata kelola bencana dan mitigasi bencana berbasis ekosistem.
Namun, dua dekade kemudian, praktik destruktif terhadap alam tampaknya masih berlangsung.
Gubernur Muzakir Manaf, dalam air matanya, bukan hanya menyuarakan kehilangan — tetapi juga seruan moral: “Inilah tugas kita, untuk melayani mereka-mereka yang terdampak jadi korban.”
Kini, saatnya seluruh elemen bangsa — pemerintah, swasta, masyarakat sipil, dan individu — bersatu tidak hanya dalam memberi bantuan, tetapi juga dalam memperbaiki hubungan kita dengan alam. Sebab, jika tidak, “tsunami kedua” mungkin bukan yang terakhir.












