TOPIKSERU.COM, Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI) mengeluarkan pernyataan sikap terkait isu iklim di awal pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Gibran Rakabuming Raka.
Dilansir dari laman resmi Walhi.or.id, Sabtu (22/10), ARUKI menyatakan kegagalan keduanya memenuhi komitmen 1,5℃. Satu koma lima derajat (1,5℃) merupakan ambang batas bumi agar terhindar dari ancaman dan bahaya krisis iklim.
Dimana sebagai negara pihak, ARUKi menilai Indonesia memiliki kewajiban dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menetapkan target ambisius dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekjen Kiara, Susanti Herawati mengatakan, pidato kenegaraan Presiden diduga kuat tidak menaruh perhatian besar atas komitmennya merespon tiga krisis planet bumi (Triple Planetary Crisis): perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi-limbah.
“Sejak awal, visi-misi keduanya sarat terlihat menghindar dari tanggung jawab untuk merespon persoalan krisis iklim. Hal ini semakin diperkuat dengan jargon keduanya untuk menjadi ‘keberlanjutan’ dari rezim sebelumnya,” kata Susan.
Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo dinilai mengorkestrasi program pembangunan yang kental dengan realitas perampasan ruang hidup, konflik agraria, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, ekosistem esensial, serta keanekaragaman hayati.
Menurut ARUKI, kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif menunjukkan ketidakpedulian pemerintahan sebelumnya terhadap krisis iklim yang semakin memburuk. Sekian kondisi itulah yang dengan bangga akan dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran.
PSN dan KSPN Dinilai Sumbang Deforestasi
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi mengatakan, dalam catatan pihaknya sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KPSN) telah menyumbang deforestasi.
Proyek-proyek itu juga ditengarai melahirkan perampasan dan penggusuran ruang hidup dan sumber penghidupan, serta kriminalisasi terhadap rakyat di berbagai wilayah di Indonesia.
“Proyek-proyek pembangunan yang sarat penghancuran sistem keseimbangan sosial, ekologi serta lingkungan hidup itu akan jadi gambaran ke depan dalam pemerintahan baru,” tukas Zenzi.
Pemiskinan Berwajah Perempuan
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Armayanti Sanusi menilai berbagai konflik yang terjadi akibat proyek-proyek solusi yang dinilai palsu tersebut, perempuan juga tidak luput dari kekerasan.
Krisis iklim hari ini, kata Armayanti telah melahirkan pemiskinan berwajah perempuan. Catatan kritis pihaknya menemukan fakta berbagai kebijakan iklim melalui proyek Energi geothermal di Poco Leok Nusa tenggara Timur, Gunung Rajabasa Lampung, hingga Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) Poso Energi di Sulawesi tengah telah memperluas diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.
Penghancuran ruang kelola perempuan dan peminggiran peran perempuan di dalam pengelolaan sumber daya alam, sambung Armayanti telah menciptakan feminisasi pemiskinan struktural yang berdampak terhadap berbagai ketimpangan ekonomi hingga berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif.
Inisiatif kolektif perempuan di dalam aksi adaptasi dan mitigasi iklim justru tidak pernah diakui dan dilindungi oleh negara, alih-alih menciptakan kebijakan dan program yang berkeadilan, persoalan proyek energi solusi palsu iklim justru telah memperluas konflik di tengah masyarakat.
Penulis : Damai Mendrofa
Editor : Muklis
Sumber Berita : Siaran Pers WALHI
Halaman : 1 2 Selanjutnya