“Proyek-proyek pembangunan yang sarat penghancuran sistem keseimbangan sosial, ekologi serta lingkungan hidup itu akan jadi gambaran ke depan dalam pemerintahan baru,” tukas Zenzi.
Pemiskinan Berwajah Perempuan
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Armayanti Sanusi menilai berbagai konflik yang terjadi akibat proyek-proyek solusi yang dinilai palsu tersebut, perempuan juga tidak luput dari kekerasan.
Krisis iklim hari ini, kata Armayanti telah melahirkan pemiskinan berwajah perempuan. Catatan kritis pihaknya menemukan fakta berbagai kebijakan iklim melalui proyek Energi geothermal di Poco Leok Nusa tenggara Timur, Gunung Rajabasa Lampung, hingga Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) Poso Energi di Sulawesi tengah telah memperluas diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penghancuran ruang kelola perempuan dan peminggiran peran perempuan di dalam pengelolaan sumber daya alam, sambung Armayanti telah menciptakan feminisasi pemiskinan struktural yang berdampak terhadap berbagai ketimpangan ekonomi hingga berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif.
Inisiatif kolektif perempuan di dalam aksi adaptasi dan mitigasi iklim justru tidak pernah diakui dan dilindungi oleh negara, alih-alih menciptakan kebijakan dan program yang berkeadilan, persoalan proyek energi solusi palsu iklim justru telah memperluas konflik di tengah masyarakat.
“Saat perempuan dan masyarakat memperjuangkan ruang kelola mereka justru di kriminalisasi, intimidasi bahkan melakukan kekerasan yang menyasar ketubuhan perempuan,” pungkas Armayanti.
Problem Serius Yakni Krisis Demokrasi
Torry Kuswardono, Direktur Yayasan PIKUL menimpali, dalam ancaman krisis iklim yang dampaknya semakin tak terhindarkan saat ini, Indonesia masih memiliki problem serius yakni krisis demokrasi.
Krisis iklim, menurut dia meningkatkan intensitas bencana iklim dan anomali cuaca seperti kenaikan muka air laut, abrasi, kemarau berkepanjangan serta banjir bandang.
Akibatnya, kelompok rentan meliputi disabilitas, nelayan kecil dan tradisional, buruh tani, perempuan, masyarakat adat, kelompok miskin perkotaan, serta buruh harus menghadapi dan mengalami kehilangan dan kerusakan, serta beban berlapis akibat krisis iklim.
Torry mengungkapkan, hasil Konsultasi Rakyat (KR) yang dilakukan ARUKI di 12 provinsi menunjukkan dampak terberat krisis iklim justru dialami kelompok rentan. Pertama, dampak krisis iklim terjadi mengakibatkan kehilangan mata pencaharian, penurunan pendapatan hingga kerusakan tempat tinggal, bahkan di beberapa wilayah telah terjadi migrasi penduduk akibat krisis iklim.
Penulis : Damai Mendrofa
Editor : Muklis
Sumber Berita : Siaran Pers WALHI
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya