Dalam konteks ini, kata Enny, UU 18/2017 dan PP 22/2022 menggunakan istilah “pelaut awak kapal’ dan “pelaut perikanan” dalam satu kesatuan karena berbagai dokumen yang terkait dengan pelaut dan awak kapal sebagai pekerja migran juga menggunakan istilah “pelaut”.
Menurut Mahkamah, pada prinsipnya UU 18/2017 dibentuk untuk mengatur pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang selama ini belum ada kejelasan pengaturan perlindungannya.
Dengan demikian, Mahkamah menilai pelindungan yang diberikan kepada pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dalam UU 18/2017 tidak hanya mencakup pemenuhan hak-hak dasar sebagai pekerja, tetapi juga meliputi pengaturan yang lebih rinci dan komprehensif mengenai kondisi kerja yang aman, jaminan sosial, serta hak-hak lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Setelah mencermati secara keseluruhan UU 18/2017 telah ternyata undang-undang a quo sesungguhnya bersesuaian dengan prinsip-prinsip pelindungan pelaut sebagaimana diatur dalam MLC 2006,” kata Enny.
Enny mengatakan adanya norma Pasal 4 ayat (1) huruf C UU 18/2017 justru untuk memberi pelindungan yang mencakup hak-hak dasar serta memberi kepastian hukum dan pelindungan yang komprehensif bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan Indonesia sebagai pekerja migran.
“Dengan demikian, dalil para pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata dia.
Penulis : Muchlis
Sumber Berita : Antara