Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Erik dan Mukena Ibunya: Kisah Paling Menggetarkan dari Tragedi Galodo Palembayan

×

Erik dan Mukena Ibunya: Kisah Paling Menggetarkan dari Tragedi Galodo Palembayan

Sebarkan artikel ini
Tragedi Galodo Palembayan
Proses pencarian orang-orang yang hilang dalam Tragedi Galodo Palembayan, Sumatra Barat. (Halbert Caniago/BBC Indonesia)

Topikseru.com — Di tengah gelapnya malam pasca galodo (banjir bandang) yang meluluhlantakkan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, kisah pilu seorang anak bernama Erik Andesra menjadi sorotan.

Perjuangannya menembus lumpur, mengangkat batu-batu besar, hingga menyewa alat berat demi menemukan ibunya, Ernita (58), menjadikan peristiwa ini bukan sekadar bencana alam, tetapi juga tragedi kemanusiaan yang menggetarkan.

Ernita ditemukan pada Sabtu (30/11) pagi, dalam keadaan masih memakai mukena, terjepit puing rumah yang hancur oleh galodo. Dari keterangan keluarga, perempuan itu tengah menunaikan salat ketika air bah datang menghantam.

Detik Awal Bencana Menerjang: Larangan yang Menjadi Pertanda

Tiga hari sebelum galodo menghantam kampung halamannya, Erik sebenarnya sudah berniat merantau ke Pasaman untuk mencari pekerjaan. Ia mengajukan izin kepada ibunya, seperti biasa, dengan penuh harapan bisa membantu ekonomi keluarga.

Namun hujan yang turun tanpa jeda membuat sang ibu merasa gelisah. Setiap tetes hujan yang jatuh ke tanah seakan membawa firasat yang tak bisa ia jelaskan. Dengan suara lembut namun tegas, ia menahan kepergian Erik.

“Jangan dulu, cuaca tak bagus,” pesan ibunya saat itu—sebuah kalimat yang sederhana, namun kini terasa seperti suara yang datang dari hati seorang ibu yang sedang memeluk kekhawatiran besar.

Bagi Erik, larangan itu awalnya tidak lebih dari bentuk perhatian biasa. Ia menganggap ibunya hanya cemas karena perjalanan jauh. Namun setelah bencana terjadi, kata-kata itu berubah menjadi potongan memori yang terus menggaung, seolah menjadi tanda peringatan terakhir yang diberikan seorang ibu sebelum kampungnya diterjang banjir bandang.

Hingga akhirnya, pada 27 November, sang ibu mengizinkannya pergi. Hari itu, dengan langkah mantap dan bekal doa, Erik berangkat menuju Pasaman—tanpa mengetahui bahwa di hari yang sama, galodo besar menggulung kampung ibunya, menghancurkan rumah, jalan, hutan, dan meninggalkan luka mendalam bagi seluruh warga.

Saat kabar bencana itu sampai kepadanya, tubuh Erik lemas. Ia teringat jelas bagaimana ibunya menahannya beberapa hari sebelumnya. Ia tak henti bertanya di dalam hati—apakah itu benar-benar sebuah firasat seorang ibu?

Kini, larangan itu bukan lagi sekadar nasihat. Itu menjadi sebuah kenangan pahit yang menyisakan perasaan haru, penyesalan, dan syukur sekaligus—haru karena insting seorang ibu begitu kuat, penyesalan karena tak bisa berada di sisi keluarganya ketika bencana datang, dan syukur karena ia masih diberi keselamatan untuk kembali membantu keluarganya bangkit.

Jalan yang Hilang, Rumah yang Tak Lagi Berdiri

Begitu kabar bencana itu sampai ke telinganya, Erik yang sedang berada sekitar delapan kilometer dari rumah ibunya langsung meninggalkan segala aktivitas. Dengan napas memburu dan langkah tergesa, ia menyusuri jalanan yang mulai dipadati warga lain yang juga mencari keluarga mereka.

Namun ketika ia tiba di persimpangan utama—jalan yang selama ini menjadi satu-satunya akses menuju kampung tempat ibunya tinggal—Erik terdiam. Tubuhnya seolah membeku oleh pemandangan yang terbentang di depan mata.

Jalan yang biasanya menjadi jalur aman dan terang, kini berubah menjadi hamparan lumpur tebal. Air kecokelatan mengalir tak beraturan, menyeret potongan kayu, dedaunan, bahkan pecahan atap rumah yang hanyut dari hulu. Batu-batu besar berserakan seperti dilemparkan begitu saja oleh kekuatan alam yang tak bisa ditahan.

Sungai yang selama ini tenang dan hanya setinggi betis, kini menjelma menjadi arus deras yang bergemuruh. Aliran air membawa sisa-sisa ingatan warga: papan rumah, potongan perabot, pakaian, hingga beberapa benda yang mungkin punya cerita tersendiri sebelum semuanya lenyap disapu galodo.

Ketika Erik menatap lokasi tempat rumah ibunya seharusnya berdiri, ia merasakan dadanya seperti diremas. Tanahnya masih sama, lokasinya masih di titik yang ia kenal sejak kecil, tapi bentuknya sudah tak lagi menyerupai sebuah permukiman. Tidak ada pagar bambu, tidak ada jendela yang sebelumnya selalu dibuka ibunya setiap pagi—semua hilang ditelan derasnya banjir bandang.

“Aku tak melihat lagi rumah di tempat biasanya,” ucap Erik dengan suara yang bergetar, seakan ucapan itu masih sulit ia percaya sendiri.

Kedua lututnya goyah. Ia harus memegangi batang pohon untuk tetap berdiri. Kekosongan menyelimuti tatapannya, namun di balik itu tersimpan secercah harapan yang ia paksa untuk tetap hidup.

Erik terus berkata dalam hatinya: Mungkin ibunya sempat keluar. Mungkin ibunya menyelamatkan diri lebih dulu. Mungkin ada seseorang yang menolongnya. Harapan-harapan kecil itu menjadi pijakan terakhirnya untuk tidak jatuh dalam keputusasaan.

Di tengah hiruk-pikuk warga yang berteriak memanggil nama keluarga mereka, di tengah suara alat berat yang mulai mencoba membersihkan akses jalan, Erik berdiri sendirian, memandangi tempat yang dulu penuh tawa dan kenangan. Kini yang tersisa hanya sunyi, lumpur, dan ketidakpastian.

Namun ia tetap melangkah maju. Setiap langkah kecil di atas tanah becek itu ia ambil dengan satu keyakinan: masih ada keajaiban yang mungkin tersisa di balik reruntuhan.

Menembus Lumpur Seperti Perang: Mencari dari Satu Jenazah ke Jenazah Lain

Evakuasi Korban Longsor
Warga mengevakuasi korban longsor yang hanyut di sungai Batang Anai, Nagari Anduriang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Sabtu (29/11).(ANTARA FOTO/Beni Wijaya)

Bencana itu seolah memaksa Erik menghadapi ketakutan terbesar yang bisa dirasakan seorang anak: kehilangan orang yang paling dicintai. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang tidak pernah ingin ia hadapi, tetapi harus ia jalani karena keadaan.

Dengan hanya berbekal tekad dan doa, Erik memutuskan untuk masuk lebih dalam ke area yang paling parah diterjang galodo. Jalanan sudah tak lagi layak disebut jalan. Lumpur menumpuk hingga setinggi dada orang dewasa. Setiap langkah seperti tenggelam ke dalam kubangan berat yang menahan tubuhnya, membuat setiap gerakan terasa menyakitkan.

Baca Juga  Prabowo Terjun Langsung ke Wilayah Terdampak Banjir di Sumatera, Prioritas Nasional: Evakuasi, Logistik, dan Pemulihan Infrastruktur

Cuaca lembap membuat bau lumpur semakin menyengat. Tetapi yang paling menusuk adalah aroma bercampurnya tanah basah, kayu lapuk, dan darah—bau khas yang sering terdengar dalam liputan bencana besar. Itu bukan sekadar aroma kehancuran, melainkan pengingat bahwa di balik material yang berserakan, ada nyawa dan cerita manusia yang telah berakhir.

Namun Erik tetap melangkah.

“Setiap ada kabar penemuan jenazah, aku lihat satu-satu wajahnya,” katanya lirih, mengingat momen yang membuat jantungnya seakan berhenti setiap kali ada warga yang berteriak menemukan seseorang.

Erik menyusuri satu titik ke titik lain, mengikuti warga, aparat, dan relawan yang berusaha mengevakuasi korban. Ketika sebuah jenazah ditemukan, semua orang berhenti. Ada yang menunduk, ada yang berdoa, sementara Erik maju perlahan, memandangi wajah yang tertutup lumpur namun masih menyisakan guratan kehidupan.

Setiap kali bukan ibunya, Erik merasakan kelegaan kecil—yang segera berubah menjadi rasa bersalah. Di satu sisi ia bersyukur ibunya belum ditemukan, di sisi lain ia menyaksikan keluarga lain yang menangis atas kehilangan mereka. Konflik batin itu menghantam dirinya berkali-kali, membuat langkahnya semakin berat namun tekadnya semakin kuat.

Di tengah puing-puing rumah yang hancur dan pohon-pohon besar yang tumbang, Erik tidak peduli lagi soal keselamatannya. Arus masih mengalir deras, tanah masih labil, dan longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Namun baginya, risiko hanya sebuah kata.

Yang ada di pikirannya hanya satu: mencari ibunya, dalam keadaan apa pun.

Tidak ada teriakan aparat yang memintanya menjauh dari zona berbahaya yang benar-benar ia dengar. Tidak ada rasa takut terhadap runtuhan atau dugaan bencana susulan yang ia pedulikan. Saat itu, satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya adalah cinta dan kecemasan seorang anak—perasaan yang membuatnya mampu melangkah lebih jauh dari batas normal manusia.

Dalam keheningan yang diterjemahkan oleh suara air yang mengalir deras dan langkah kaki para relawan, Erik terus menembus lumpur, menyisir satu demi satu jenazah dengan mata yang mulai sembab namun tetap tajam mencari wajah yang sangat ia kenal.

Galodo itu telah merenggut banyak hal, tetapi belum—dan tidak akan—merenggut harapan terakhir seorang anak bernama Erik.

Luka Berlapis: Adik dan Tiga Keponakan Juga Hilang

Saat Erik masih berjuang menembus puing dan lumpur untuk mencari ibunya, kabar duka lain menghantamnya seperti gelombang kedua bencana. Di tengah kekacauan itu, seseorang memanggilnya pelan, membawa sebuah kabar yang membuat tubuhnya kembali lemas: adik kandungnya dan tiga keponakannya juga hilang.

Informasi itu datang bukan melalui proses resmi, tetapi melalui bisik-bisik warga yang masih saling bertukar kabar kehilangan. Semakin lama, semakin jelas bahwa rumah adiknya juga tersapu galodo.

Rasa perih yang sebelumnya sudah ia rasakan, kini berlipat ganda. Ia belum selesai dengan ketakutannya kehilangan ibu, tetapi kini ia harus menanggung kenyataan bahwa generasi berikutnya dalam keluarganya pun ikut lenyap tanpa jejak.

Malam itu, Erik tak bisa tidur. Di bawah tenda darurat, suara tangis warga yang lain menggema seperti koreografi duka yang tak terputus. Di tengah kelelahan fisik karena menembus lumpur seharian, pikirannya tetap tak bisa berhenti memutar wajah-wajah keponakannya—wajah ceria yang sering berlari di halaman ketika ia pulang kampung.

Keesokan paginya, teleponnya bergetar. Sebuah pesan masuk berupa foto

Ia sempat ragu untuk membukanya, tetapi ia tahu ia harus.

Foto itu menampilkan jasad salah satu keponakannya yang ditemukan relawan sejauh tujuh kilometer dari rumah.

Tubuh kecil itu sudah tak lagi ia kenali sepenuhnya—tetapi pakaian yang menempel, sisa warna yang masih terlihat, menjadi penanda yang tak terbantahkan.

Erik menatap foto itu lama, sebelum akhirnya air matanya pecah tanpa bisa ia tahan.

Tanpa menunda waktu, ia langsung berangkat menjemput jenazah keponakannya. Perjalanan itu terasa seperti perjalanan paling sunyi dalam hidupnya. Tidak ada kata-kata dari orang di sekelilingnya yang bisa meringankan beban itu. Hanya suara kendaraan yang membawanya melintasi jalanan penuh puing dan tanah longsor.

Sesampainya di lokasi, ia melihat tubuh kecil itu sudah dibungkus seadanya. Ia menunduk, menyentuh dengan tangan bergetar, dan berbisik pelan seolah anak itu masih bisa mendengar:

“Maaf, amang… Tulang baru bisa datang sekarang.”

Dari sana, Erik mengantarkan jenazah keponakannya menuju Gumarang untuk dimakamkan. Sepanjang perjalanan, ia terus merasa ada kekosongan di dada, seolah sebagian dari hidupnya ikut hilang bersama jasad kecil yang ia bawa.

Yang paling mengguncang adalah kenyataan bahwa kedua orang tua si anak—adik Erik dan pasangannya—tidak dapat melihat jasad anak mereka sendiri. Mereka masih terisolasi akibat jalan yang terputus dan jembatan yang hanyut. Tidak ada pelukan terakhir, tidak ada ciuman perpisahan, tidak ada kesempatan mengantar sang anak ke tempat peristirahatan terakhir.

Untuk sesaat, Erik merasa dunia terlalu kejam. Duka itu seperti tidak memberi jeda. Setiap ia mencoba bernapas, tragedi baru datang menambah hancurnya hatinya.

Di tengah rasa kehilangan yang begitu besar, Erik hanya bisa menatap gundukan tanah merah di pemakaman dan berdoa—berharap masih ada anggota keluarga lainnya yang akan ditemukan dalam keadaan selamat, meski harapan itu semakin menipis.