Scroll untuk baca artikel
Peristiwa

Empat Kali Terjatuh, Namun Tak Menyerah: Perjalanan Berbahaya Aswin Evakuasi Keluarganya Lewat Jalan Berlumpur

×

Empat Kali Terjatuh, Namun Tak Menyerah: Perjalanan Berbahaya Aswin Evakuasi Keluarganya Lewat Jalan Berlumpur

Sebarkan artikel ini
Banjir Sumut
Seorang warga duduk di atas tumpukan kayu besar yang terbawa arus saat melanda beberapa kawasan di Sumut. Material kayu dan lumpur memenuhi aliran sungai, sementara alat berat dikerahkan untuk membersihkan jalur yang tertutup akibat banjir dan longsor.

Tabungan Tak Bisa Dicairkan Hanya Bisa Dilihat

Dalam situasi normal, tabungan adalah penyelamat. Tetapi di tengah bencana ini, tabungan hanya menjadi angka yang bisa dilihat, namun tidak bisa disentuh.

ATM mati. Bank tutup. Sistem perbankan lumpuh sepenuhnya.

Aswin hanya bisa menatap layar ponsel yang menampilkan sisa saldo kecil yang secara ironis tak bisa ia gunakan bahkan untuk membeli susu seharga Rp90.000 itu. Keadaan benar-benar mengurung keluarga ini di titik paling rapuh.

Muncul pikiran untuk meminjam susu di apotek atau warung. Tapi Aswin takut. Bukan takut terlihat miskin atau tidak mampu, melainkan takut muncul masalah baru.

Dalam situasi kacau, kesalahpahaman mudah terjadi. Ia tidak ingin keluarganya menghadapi tuduhan atau konflik baru. Ia memilih menahan rasa malu dan mencari jalan yang lebih berat, namun lebih aman.

Keputusan itu menunjukkan bagaimana bencana tidak sekadar merusak fisik wilayah, tetapi juga memaksa warga untuk hidup dalam ketegangan sosial yang sulit.

Jalan Tikus Berlumpur: Satu-Satunya Jalur untuk Keluar

Ketika semua akses jalan utama terputus, warga menemukan sebuah jalan tikus yang melintasi kebun sawit. Jalur itu bukan sekadar sempit, tetapi dipenuhi lumpur tebal, licin, dan gelap. Meski begitu, jalan itu adalah satu-satunya harapan.

Aswin memutuskan untuk meninggalkan rumah dan membawa keluarganya menuju Padang Sidempuan, ke rumah mertuanya yang diyakini memiliki persediaan lebih aman.

Ia mengendarai motor, membawa anak-anak dan istrinya di tengah lumpur yang seperti tak berujung.

Empat kali mereka terjatuh. Anak-anak menangis. Bajunya penuh lumpur. Tangannya memerah karena terus memegang stang tanpa henti.

Ia tidak berhenti. Tidak karena ia kuat, tetapi karena ia tahu tidak ada yang bisa menggantikannya membawa keluarga keluar dari situasi itu.

“Kalau bukan saya, siapa lagi yang bawa mereka pergi?” katanya sambil mengingat kembali perjalanan itu.

Perjalanan yang biasanya ditempuh dua jam berubah menjadi empat jam penuh rasa takut, basah, dingin, dan kelelahan.

Tapi Aswin terus melaju, seperti manusia yang sedang bertarung dengan batas tubuhnya.

Takut, Lelah, Tetapi Tidak Pernah Menyerah

Dalam perjalanan itu, Aswin memikirkan banyak hal. Ia takut motor mogok. Takut lumpur semakin dalam. Takut anaknya terluka. Takut langit gelap sebelum mereka sampai tujuan.

Tetapi di balik semua ketakutan itu, ada satu hal yang membuat ia tetap bergerak: harapannya untuk menyelamatkan keluarga.

Di balik setiap langkah yang terseret lumpur, ada cinta yang tidak pernah patah. Dan di balik setiap tarikan napas yang berat, ada kekuatan yang muncul bukan dari tubuh, tetapi dari jiwa seorang ayah.

Potret Besar Bencana Sumut: 17 Kabupaten/Kota Terdampak Parah

Di balik kisah perjuangan pribadi seperti yang dialami Aswin dan keluarganya, Sumatera Utara kini sedang menghadapi salah satu bencana terburuk dalam sejarah wilayah tersebut.

Baca Juga  Korban Meninggal Akibat Bencana di Sumut Bertambah Jadi 298 Orang, Tersebar di 11 Kabupaten/Kota

Data terbaru dari BPBD menggambarkan skala bencana yang luar biasa besar, meninggalkan luka mendalam bagi ratusan ribu keluarga.

Hingga kini tercatat 313 jiwa meninggal dunia, sementara 163 orang masih hilang, diduga tertimbun material longsor atau terseret arus banjir. Setiap angka ini mewakili keluarga yang kehilangan ayah, ibu, anak, dan saudara—membentuk mosaik duka di hampir seluruh penjuru Sumatera Utara.

Lebih dari 51.433 jiwa mengungsi, terpaksa meninggalkan rumah dan harta benda hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh. Di posko-posko darurat, tangis anak-anak dan wajah letih para orang tua menjadi pemandangan sehari-hari. Secara keseluruhan, 1.511.456 warga terdampak secara langsung maupun tidak langsung, menunjukkan betapa masifnya krisis ini.

Tak hanya itu, 651 orang mengalami luka-luka, mulai dari cedera ringan hingga patah tulang akibat tertimpa reruntuhan atau terseret arus banjir bandang.

Rangkuman Kondisi 17 Daerah Terdampak

Bencana ini tidak hanya terpusat pada satu titik. Gelombang banjir, longsor, dan kerusakan merata terjadi di 17 kabupaten/kota, masing-masing dengan cerita tragis dan tantangan berbeda.

Tapanuli Utara
Wilayah ini mencatat 34 korban meninggal dan 14 orang hilang. Banyak desa terisolasi berhari-hari karena jalan utama putus total, membuat bantuan sulit masuk.

Tapanuli Tengah
Daerah terdampak terparah dengan 88 korban meninggal dan 112 orang masih hilang. Banyak keluarga seperti Aswin yang harus menempuh perjalanan penuh risiko untuk mencari tempat aman.

Tapanuli Selatan
Sebanyak 84 warga meninggal, sebagian besar akibat rumah yang tertimbun longsor di malam hari, saat semua tertidur.

Sibolga
Kota pesisir ini mencatat 51 kematian, dengan permukiman padat penduduk paling banyak terkena arus banjir mendadak.

Humbang Hasundutan
Sebanyak 9 orang meninggal akibat longsor yang menghantam rumah-rumah warga di daerah perbukitan.

Padang Sidimpuan
Kota ini melaporkan 1 korban meninggal, namun ratusan rumah masih terendam lumpur tebal.

Pakpak Bharat
Tercatat 2 korban meninggal, sementara sejumlah desa masih terisolasi.

Mandailing Natal
Tidak mencatat korban jiwa dalam data terakhir, namun ribuan warga mengungsi karena meluapnya sungai dan kerusakan jembatan.

Medan
Sebagai ibu kota provinsi, Medan pun tak luput dari bencana. 7 warga meninggal, sebagian akibat terseret arus banjir di kawasan permukiman padat.

Langkat
Wilayah ini melaporkan 11 kematian, terutama di daerah yang berdekatan dengan aliran sungai besar.

Deliserdang
Banjir besar menelan 17 korban jiwa, dengan kerusakan luas di kawasan permukiman.

Tebing Tinggi
Meskipun tidak ada korban jiwa, ratusan rumah terendam dan akses transportasi sempat lumpuh.

Serdang Bedagai, Asahan, Batubara, Binjai, dan Nias
Kelima wilayah ini mencatat kerusakan infrastruktur, bangunan rumah, serta lahan pertanian. Tingkatan kerusakan bervariasi, namun seluruhnya menghadapi tantangan besar untuk pemulihan. (*)