“Korban bisa mengalami stres, kecemasan, depresi, dan dalam beberapa kasus, trauma jangka panjang,” jelasnya.
Selain itu, pelecehan verbal dapat mengganggu keseimbangan mental dan emosional korban, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kehidupan pribadi dan profesional mereka.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengatasi pelecehan seksual verbal adalah stigma yang melekat pada korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak korban merasa malu atau takut untuk berbicara karena khawatir dianggap berlebihan atau tidak mampu menerima candaan,” kata Rena.
Perempuan Menjadi Korban
Menurut kajian Agency for Fundamental Rights (FRA), beberapa waktu lalu, mengutip Kantor Berita Reuters, bahwa perempuan adalah target utama dari tindakan ujaran kebencian di dunia maya.
Bentuknya bervariasi, mulai dari bahasa kasar, pelecehan, provokasi hingga kekerasan seksual.
Kajian tersebut mereka lakukan di YouTube, Reddit, dan X – dulu sebagai Twitter, di empat negara Uni Eropa pada Januari – Juni 2022.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa perempuan, di seluruh platform dan dari negara-negara tersebut, menjadi target utama.
Menurut mereka, hasil dari kajian itu seharusnya mendorong Uni Eropa dan platform-platform media sosial untuk benar-benar memperhatikan sejumlah hal ketika memoderasi konten, semisal gender dan etnis.
Harus Berani Speak Up
Tindakan pelecehan verbal atau catcalling juga pernah meramaikan media sosial di Indonesia melalui pengakuan salah seorang wisatawan di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nussa Tenggara Barat.
Korban mengeluh karena mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan saat berlibur.
Perempuan itu mengungkapkan kekesalannya karena merasa tidak nyaman oleh gangguan dalam bentuk candaan dari lawan jenis yang tidak dia kenal.
Sementara itu, platform TikTok, baru-baru ini mengunggah kasus pelecehan terhadap dua tamu perempuan di sebuah restoran di Jakarta Selatan.
Korban mendapat perlakukan tidak pantas dari oknum pramusaji saat menerima tagihan untuk pemesanan makanan.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya